🔅#16🔅

1.9K 228 19
                                    

Kedua gadis dengan wajah serupa berjalan beriringan menyusuri komplek perumahan mereka. Mereka adalah si kembar, Senja dan Jingga. Sedari tadi Senja terus saja berdecak sebal sambil menyingkirkan tangan Jingga dari lengannya, namun semua itu sia-sia karena kembarannya itu yang keras kepala dan terus memegang lengannya.

"Kok berhenti?" tanya Jingga ketika Senja terdiam di depan pintu rumah mereka. Gadis itu lalu mengkode Jingga agar masuk terlebih dahulu.

Jingga mengerti, Senja pasti tak ingin di tuduh macam-macam oleh Ibunda mereka sehingga ia menyuruh Jingga masuk dahulu barulah dirinya.

"Assalamu'alaikum, Bunda." Suara Jingga terdengar ringan dan ceria, hal yang tak pernah bisa Senja lakukan. Ia tak pernah bisa berteriak senang dan tersenyum lepas seperti Jingga, dan itu yang membuat rasa kebenciannya kembali.

Walau ia sudah berusaha untuk memaafkan Jingga karena dirinya sadar jika Jingga tak salah, tapi tetap saja, ada rasa benci yang menyeruak di dalam hatinya. Sebab jika Jingga yang menjadi anak kedua, ia mungkin tak akan diperlakukan seperti ini.

"Wa'alaikumsalam, sudah pulang? Kenapa telat?" Lihatlah, betapa lembutnya Irgita pada anak sulungnya. Sementara anak bungsunya selalu ia perlakukan kasar dan tak pernah mendapat perhatian.

"Bunda, Jingga mau olimpiade loh." Jingga tersenyum senang, lalu memeluk Irgita dan mencium pipi wanita paruh baya tersebut.

"Wah, bagus kalo gitu. Bunda bangga sama kamu," balas Irgita tersenyum sambil mengelus rambut Jingga sayang.

Tanpa sadar, Senja meneteskan air matanya. Ia tersenyum pedih, kapan dirinya bisa mendapatkan senyuman itu dari Bundanya? Kapan ia bisa merasakan elusan lembut itu di kepalanya? Dan kapan Bundanya bisa menyayangi Senja seperti ia menyayangi Jingga sekarang?

'Sakit banget ya,' batin Senja. Dadanya terasa sesak, kenapa mereka semua begitu tega kepada Senja? Orang tua nya yang tak pernah menganggap Senja ada, dan Jingga yang munafik. Ya, Senja selalu menganggap Jingga munafik. Karena gadis itu selalu berjanji akan membantunya agar disayangi orang tua mereka, namun janji itu tak pernah membuahkan hasil apa-apa. Bukankah ciri-ciri orang munafik itu ada 3? Pertama, dia yang berdusta. Kedua, dia yang tak amanah. Dan ketiga, dia yang tak menepati janji.

Senja menghapus air matanya, berniat untuk melewati ibu dan anak yang sedang berbahagia tersebut. Namun langkahnya terhenti ketika Irgita memanggil namanya.

Senja berhenti berjalan, merubah raut wajahnya agar tampak ceria lalu berbalik menatap sang Bunda. "Kenapa, Bun? Maaf Senja gak beliin kue cok--"

"Kamu berkelahi lagi? Kamu ikut tawuran lagi?" tanya Irgita memotong ucapan Senja. Wanita itu lalu mendekat kepada anaknya, menatap Senja tajam lalu melayangkan tangan.

Senja menutup mata, bersiap untuk rasa perih yang pasti akan menjalar ke pipinya.

Plak...

Aneh. Senja tak merasakan sakit apa-apa, lalu benda apa yang ditampar oleh Bundanya?

"Jingga, kamu gapapa? Maafin bunda, kenapa kamu lindungin dia?"

Senja membuka matanya, mendapati Jingga di depannya. Sepertinya, kembarannya itu yang menerima tamparan dari Irgita.

"Gini yah rasanya di tampar?" Jingga bertanya pada dirinya sendiri, namun hal tersebut mengundang rasa khawatir dan penyesalan dari Irgita.

"Sayang, maafin bunda. Bunda gak sengaja, bunda nyesel." Irgita mencoba untuk menyentuh Jingga, namun dengan cepat gadis itu menghindar.

"Bunda nyesel?" Jingga bertanya sambil mengelus pipinya dan Irgita mengangguk sebagai jawaban. "Tapi Bunda gak nyesel kan hampir tiap hari mukul Senja?"

Senja Tanpa Jingga (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang