Alhamdulillah, ternyata bisa update😂
Kemarin sempat takut gak bisa lanjutin cerita ini karena ide yang mentok, tapi syukurnya ni otak masih bisa di ajak kompromi😌
So, happy reading✨🔅🔅🔅
Senja duduk bersandar sambil menatap kosong layar televisi yang menyala. Ia lalu menoleh ke samping, tersenyum tipis melihat kedua orang tuanya dan Jingga yang ikut menonton. Ketiganya tampak sangat bahagia dengan saling bercanda, berbeda dengan Senja yang hanya diam memperhatikan. Ia mengerti, bahwa selamanya akan ada jarak panjang yang memisahkan kedua orang tuanya dari dirinya.
"Ja, besok berangkat bareng ya," ucap Jingga dengan senyum lebar.
"Mau Ayah anter?" tawar Semesta.
Senja menatap ragu ketiganya, sejak awal memang inilah yang ia harapkan. Tapi kenapa rasanya begitu hambar? Apa mungkin karena ia tahu jika Semesta tak bener-benar tulus memberikan kasih sayangnya?
"Ja, kok bengong? Ntar kesambet tau rasa," kekeh Jingga.
"Senja naik angkot aja."
"Kenapa? Bukannya sejak dulu kamu pengen banget dianterin kayak Jingga?" Irgita menunjukkan raut wajah tak suka, wanita paruh baya itu mendelik tajam.
Senja tersenyum pahit, nyatanya kedua orang tuanya tidak berubah. Seperti yang ia pikirkan, Semesta dan Irgita hanya berpura-pura. Entah apa alasannya, tapi Senja juga tak suka hal ini. Ia lebih baik dimarahi setiap hari, daripada harus mendapat kasih sayang yang penuh kepalsuan. Ini seperti menambal lubang di hatinya dengan menggali lubang baru, gali lobang tutup lobang.
"Bun," tegur Jingga. Irgita menghela napas, menatap sinis anak bungsunya.
"Ya udah, aku ngikut kamu aja. Kalo kamu naik angkot, aku juga naik angkot."
Senja tak membalas ucapan Jingga, ia memalingkan wajah untuk kembali menghadap televisi. Diam-diam gadis itu mengukir senyum tipis, Senja akui jika dirinya mulai bisa menerima kehadiran Jingga.
Mungkin bukan hal buruk kalau gue belajar membuka hati buat Jingga.
Tanpa Senja sadari, Jingga menangkap senyum samar di bibir kembarannya itu. Ia tersenyum senang, lalu menggeser bokong agar lebih dekat dengan Senja. Dalam sekali gerakan, ia langsung memeluk Senja dari samping.
"Kalo senyum jangan diumpetin," bisik Jingga dengan nada mengejek.
"Sial," umpat Senja pelan yang membuat Jingga terkekeh geli.
***
Cuaca pagi ini begitu cerah, sangat jauh berbeda dengan kemarin yang hujan lebat hingga membuat Senja malas untuk sekedar bangkit dari kasur. Gadis yang terkenal datar itu kini telah siap dengan seragam putih abu-abunya. Pintu kamarnya yang diketuk pelan membuat Senja mengalihkan pandangan.
"Pagi, twins," sapa Jingga ceria setelah pintu kamar itu terbuka lebar.
Senja hanya mengangguk samar, lalu kembali melangkah masuk ke dalam kamar. Ia mengecek kembali isi tasnya, takut-takut salah membawa buku atau melupakan sesuatu.
"Ja, jangan datar-datar kali." Jingga menekuk wajahnya, kini ia tengah duduk di atas ranjang besar milik Senja.
"Maksud lu gue harus senyum-senyum gak jelas kayak orang gila?" Senja masih asik memeriksa tasnya tanpa melirik Jingga sedikitpun.
"Gak gitu juga. Ya kalo gue nyapa ya dibales, kalo gue senyum ya senyum balik."
"Harus?" Senja menoleh, menatap kembarannya dengan satu alis terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...