Seorang gadis meringkuk di atas ubin kamar mandi, dengan lemah ia menggedor pintu di depannya. Air mata di pipinya telah mengering, tapi luka di hatinya masih basah.
"Senja cuma butuh pengakuan, Bunda," cicit gadis itu. Tangannya perlahan turun, lalu menekuk lutut di depan dada dan memeluk diri sendiri berusaha menghalau rasa dingin.
"Senja anak Bunda dan Ayah juga."
Ia pikir hidupnya akan lebih mudah mulai sekarang, tapi ternyata Senja salah besar. Kedua orang tuanya memang sudah bersikap baik, tapi terkadang ada beberapa hal yang membuat sifat asli mereka kembali seperti dulu. Seperti kali ini, ia diseret dan dikunci di dalam kamar mandi karena memaksa ikut ke pertemuan keluarga rekan kerja Ayahnya.
Senja butuh pengakuan, tapi kedua orang tuanya tak pernah mengizinkan ia muncul ke publik sebagai bagian dari keluarga mereka.
Sudah lebih dari satu jam ia berada disini, wajahnya perlahan memucat. Ia mengangkat kepala, tersenyum getir meratapi kehidupan yang ia jalani. Bahagia diatas kepalsuan dan tersakiti oleh kenyataan.
Ia belum pernah datang ke acara-acara yang dihadiri keluarganya karena sejak kecil mereka melarang Senja. Padahal Senja juga tak akan bertingkah macam-macam, ia hanya ingin hadir dan diperkenalkan sebagai anak mereka.
Senja bisa saja mendobrak pintu di depannya itu, tapi rasa sakit dihatinya membuat tenaga gadis itu melemah. Ia bersandar pada dinding, meluruskan kakinya ke lantai dan menengadahkan kepala.
"Apa kalian bersenang-senang?" monolognya.
Disisi lain, Jingga duduk gelisah memikirkan keadaan kembarannya. Jingga ingin melawan, tapi jika dibandingkan kedua orang tuanya, ia bisa apa? Jingga bukanlah tipe orang yang pembangkang, ia hanyalah gadis lemah.
"Bunda, kapan selesainya?" bisik Jingga pada sang Ibu.
Irgita menoleh pada suaminya, kemudian melirik jam di dinding. "Bunda juga gak tau," balasnya.
Jingga mendesah kecewa, ia ingin segera pulang dan menemui Senja. Ia juga takut jika Senja akan kembali membencinya karena ini.
Ia memikirkan bagaimana caranya agar bisa cepat keluar dari tempat ini. Setelah cukup lama berpikir, Jingga akhirnya berdiri.
"Jingga ke toilet dulu ya," pamitnya yang dibalas anggukan semua orang disana.
Dengan cepat ia berjalan ke arah toilet, kemudian tanpa sepengetahuan semua orang berjalan ke pintu belakang. Ia lantas pergi dari sana, berlari mencari pangkalan ojek terdekat atau menghentikan taksi yang lewat.
Jingga berjalan kesana-kemari, namun tak ada satupun taksi atau angkutan lainnya. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari tas selempangnya, mendial sebuah nomor telepon disana.
"Re, lo bisa jemput gue gak?" ucapnya to the point setelah panggilan itu diterima.
"Ha? Emang lo lagi dimana njir?" Rere di seberang sana terdengar kebingungan.
"Nanti gue shareloc. Ini penting, jemput gue sekarang!" Setelah mengatakan itu, Jingga mematikan panggilan secara sepihak. Bisa ia pastikan jika Rere tengah mengumpat di seberang sana karena ulahnya, tapi untuk saat ini hal tersebut tidaklah penting untung Jingga. Yang sekarang ia khawatirkan hanyalah kondisi Senja.
Kurang dari sepuluh menit, Rere tiba disana dengan mobil kuning miliknya. Jingga bergegas masuk dan menyuruh Rere untuk ngebut ke rumahnya.
Selama perjalanan, ia menceritakan semuanya pada Rere. Tentang Senja yang membencinya selama ini, dan kejadian beberapa jam sebelum Jingga pergi ke acara tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Novela JuvenilJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...