Cahaya temaram memenuhi ruangan itu, bersamaan dengan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Terdengar helaan napas panjang serta decak kekesalan. Gadis itu terdiam dengan tatapan kosong ke depan, kepalanya dipenuhi pikiran-pikiran yang bercabang layaknya sebuah pohon besar.
Senja memperhatikan sekelilingnya. Tembok beton nan kokoh serta benda-benda tak bernyawa di dalam ruangan itu adalah saksi bisu bagaimana ia berjuang, jatuh dan bangkit berkali-kali. Ia menarik napas gusar, haruskah menyerah sekarang? Haruskah ia berhenti?
Guyuran hujan terdengar di luar jendela, sepertinya semesta tak ingin gadis itu menangis sehingga mewakilinya dengan hujan yang tina-tiba turun. Senja menekuk lutut, memeluk diri sendiri. Bukan karena kedinginan, bukan juga karena takut jika guntur akan datang. Ia hanya berusaha untuk menenangkan diri, menguatkan diri sendiri.
Dalam diam dia memikirkan segala hal, tentang keluarga dan persahabatannya. Tapi sejauh dan sebanyak apapun ia memikirkan cara untuk mengatasi semua kekhawatirannya, Senja selalu menemui jalan buntu.
"Apa sekarang gue harus nyerah? Kalo gak, apa gue bisa bertahan? Jingga, Nafisha, The Refive dan kedua orang tua gue, gimana sama mereka?"
Rasanya Senja ingin sekali mengakhiri semuanya, penderitaan bahkan hidupnya. Hanya saja ia masih memikirkan orang-orang disekitarnya, bukan karena takut mereka akan sedih dan tak mengikhlaskan kepergiaannya, tapi Senja takut mereka akan larut dalam rasa bersalah lalu merusak diri sendiri. Senja paham betul, jika seseorang telah pergi barulah orang-orang akan menyadari jika orang itu berharga serta menyadari kesalahannya dan menyesali semuanya.
Dering ponselnya menghancurkan lamunan Senja, sepertinya ia lupa menonaktifkan suara ponsel itu.
Dengan malas ia meraih ponsel yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang, ia menarik napas gusar setelah melihat nama si penelepon lalu melempar ponselnya asal. Ia sedang tak mau berbicara pada siapapun dan dengan alasan apapun.
Senja perlahan merebahkan diri, menarik selimut sampai sebatas lehernya dan menutup mata. Ini baru pukul delapan malam, tapi ia sudah ingin tidur agar semua beban pikirannya ikut hilang bersamaan dengan kesadarannya.
***
Senja tengah asik duduk sendirian di ruang keluarga. Karena tidur lebih awal, dirinya jadi terbangun sepagi ini. Jam dinding berwarna silver itu kini tengah menunjukkan pukul 02.33, ia sudah menguap beberapa kali namun tak kunjung bisa tidur kembali.
Pancaran cahaya layar televisi membuat ia menyipitkan mata, suara alat elektronik itu bahkan tak terdengar jelas karena dirinya takut mengganggu tidur anggota keluarganya.
Senja menarik napas kasar, merasa bosan dengan tontonan yang ia lihat. Dengan kesal ia mematikan televisi tersebut, lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.
Baru saja ia ingin membuka pintu kamarnya, suara berisik di kamar sebelah menghentikannya. Senja berpikir apa yang dilakukan Jingga? Apa gadis itu juga sudah bangun?
Karena penasaran, Senja akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar itu. Untung saja pintunya tidak terkunci, ia lalu mengintip dari celah pintu yang ia buka sedikit.
"Agh ... Kenapa gak bisa tidur juga sih?" monolog Jingga sambil berguling-guling tidak keruan di atas ranjang. Gadis itu menutup wajahnya dengan selimut, terlihat sangat frustasi.
Senja yang melihat tingkah kembarannya itu akhirnya membuka pintu dengan lebar, lantas berjalan masuk dengan langkah pelan.
Gadis dengan piyama biru tua itu melihat ke sekeliling, rasanya begitu aneh karena untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki ke tempat ini. Dulu ia selalu menghindari ruangan ini, ruangan yang menurutnya haram untuk ia lihat bahkan masuki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
JugendliteraturJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...