🔅#17🔅

1.8K 208 15
                                    

Vote dulu yuk, gratis kok wkwk

🥀Happy Reading🥀

Seorang gadis cantik dengan gembira bersenandung di depan cermin sambil merias diri. Hari ini sabtu, dan ia berniat untuk mengajak kembarannya pergi jalan-jalan.

"Oke, udah cakep. Saatnya nyamperin Senja," ucap Jingga dengan senyum lebar.

Ia mengambil tas selempangnya, lalu berjalan menuju kamar Senja. Sebelum mengetuk pintu, ia menarik napas berkali-kali. Butuh keberanian besar untuk mengganggu Senja di pagi hari seperti ini, apalagi ini adalah hari libur.

Setelah merasa cukup tenang, ia pun mengangkat tangan hendak mengetuk pintu. Tetapi belum sampai tangannya mengenai pintu, seseorang tiba-tiba keluar dari sana membuat Jingga terkejut.

"Mau mukul gue?" tanya Senja. Jingga segera menurunkan tangannya dan menggeleng cepat.

"Ja, jalan-jalan ke mall yuk," ajak Jingga. Senja melirik sekilas lalu menutup pintu, ia memilih untuk mengabaikan Jingga lalu berjalan ke depan.

"Ja, ayo. Kita kan gak pernah jalan berdua." Jingga menarik tangan Senja, namun dengan cepat dihempas oleh kembarannya itu.

"Gue ada urusan," kata gadis itu dengan nada datar seperti biasa. Ia masih terus berjalan dengan Jingga yang merengek mengajaknya untuk pergi bersama.

"Senja pamit," ucap Senja begitu melewati meja makan dimana Irgita dan Semesta sedang sarapan.

Irgita dan Semesta hanya mendelik pada Senja, menurut mereka gadis itu benar-benar tidak sopan. Mereka akan memberi dia pelajaran nanti, setelah gadis itu pulang ke rumah.

"Jingga, sarapan dulu nak." Irgita dengan lembut mengajak si sulung untuk makan, sedangkan putri bungsunya dibiarkan pergi dengan perut kosong.

"Jingga juga harus pergi, bun." Gadis itu mencium pipi Irgita dan Semesta untuk berpamitan lalu berlari menyusul Senja.

"Anak itu, kalo sakit gimana? Bisa-bisanya dia pergi tanpa sarapan dulu," sungut Irgita. Lihatlah betapa peduli dan perhatiannya wanita itu kepada Jingga, berbanding terbalik dengan sikapnya pada Senja. Wanita itu seperti ibu tiri yang jahat untuk Senja.

Disisi lain, Jingga dengan susah payah mengejar Senja. Terlebih karena saudarinya itu sudah memasuki angkot terlebih dahulu, tapi untung lah sebuah taksi kosong lewat dan ia bisa menaiki itu untuk mengejar Senja. Jingga penasaran kemana gadis itu akan pergi. Ia tau jika Senja bukanlah tipe orang yang suka jalan-jalan, berbelanja, atau berwisata. Gadis itu lebih suka duduk diam atau menyendiri.

Jingga melihat Senja turun dari angkot, lalu berjalan memasuki toko mainan. Dengan mengendap-endap, ia mengikuti Senja. Gadis itu memberi jarak yang cukup jauh agar Senja tak melihatnya.

"Senja ngapain beli mainan? Masa iya dia mau balik ke jaman bocil," monolog Jingga yang mengintip dari balik rak. Ia melihat Senja tengah memborong banyak sekali mainan, dimulai dari boneka, robot, mobil-mobilan, masak-masakan hingga dokter-dokteran.

Setelah kembarannya itu keluar, Ia dengan cepat menyusul. Kali ini Senja menaiki taksi, dan Jingga harus kembali ke taksinya tadi untuk mengikuti gadis itu.

Taksi yang ditumpangi Senja berhenti di sebuah bangunan luas berplang PANTI ASUHAN SURYA INDAH, gadis itu lalu turun dan memasuki bangunan tersebut.

Jingga tersenyum, ternyata Senja membeli banyak mainan itu untuk anak-anak disini. Gadis itu ternyata punya kepedulian yang besar terhadap para anak di panti itu.

"Terima kasih Senja, kamu selalu mengunjungi panti ini dan membawakan mereka mainan. Anak-anak disini sangat senang," ucap seorang wanita paruh baya. Senja hanya tersenyum tipis, sambil terus membagikan beberapa mainan. Sedangkan Jingga, ia memperhatikan dan mendengarkan percakapan kembarannya itu dari jauh.

"Saya merasa senasib sama mereka," ucap Senja. Gadis itu tak bisa menyembunyikan sorot sendu dari balik matanya.

"Kadang saya berpikir, kenapa anak-anak yang tidak diharapkan seperti kami dilahirkan? Kami hidup hanya untuk merasakan kepahitan," sambung Senja sambil tersenyum menatap beberapa anak yang sedang bermain disana.

"Semua hal di dunia ini sudah direncanakan oleh Allah, dan setiap kesakitan pasti ada obatnya." Wanita paruh baya tadi menepuk bahu Senja, berniat memberikan semangat.

Senja mengangguk, ia tak boleh terlihat lemah seperti ini. Gadis itu lalu melangkah mendekati seorang anak perempuan, ia duduk di sebelah anak itu dan ikut bermain dengannya.

Sedangkan Jingga, gadis itu telah menjatuhkan bulir bening dari mata indahnya ketika Senja mempertanyakan kenapa gadis itu dilahirkan jika tak diharapkan. Jingga merasakan sesak di dadanya ketika kalimat itu keluar dengan lancar dari mulut Senja, ia begitu mengerti betapa sakitnya hati Senja dan betapa hancurnya gadis itu selama ini.

"Wajar lo benci gue," ucap Jingga sambil menghapus jejak air matanya.

Ia lalu memberanikan diri untuk menghampiri Senja, dengan perlahan ia berjalan.

"Kok kak Senja ada dua," celetuk seorang anak tiba-tiba yang membuat Senja membalikkan badan menghadap kembarannya.

"Ngapain lo kesini?" tanya gadis itu dingin.

Jingga mencebikkan bibirnya, lalu menangis meraung. Senja yang melihat itu terkejut sekaligus bingung, kembarannya ini tiba-tiba datang dan langsung menangis. Benar-benar aneh, pikir Senja.

"SENJA," ujar Jingga lalu dengan cepat memeluk Senja.

"Lepas, lo apa-apaan sih." Senja berusaha mendorong Jingga menjauh, namun Jingga justru semakin mengeratkan pelukan.

Ia pun akhirnya hanya bisa pasrah ketika kembarannya itu memeluknya sambil menangis. Air mata Jingga telah membasahi baju yang dikenakan Senja, bahkan gadis itu sesekali mengelap ingusnya menggunakan baju Senja.

'Sialan,' umpat Senja sambil menatap jijik bajunya sendiri. Jika ini bukan panti asuhan, mungkin ia sudah menendang Jingga jauh-jauh.

"Lo kenapa?" tanya Senja. Gadis itu menatap Jingga datar, lalu mendorong dahi kembarannya dengan jari telunjuk.

"Duitku ilang," jawab Jingga. Senja mendelik sebal, sedangkan Jingga cengengesan.

Jingga menggeleng, lalu menggapai tangan Senja. "Gak kok, aku bercanda. Aku udah denger apa yang kamu omongin sama ibu-ibu tadi," aku Jingga.

"Lo ngintilin gue?"

"Iya," ucap Jingga sambil memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.

"Kamu ngerasain penderitaan juga karena aku kan? Jadi izinin aku buat jadi obatnya juga." Jingga menatap kedua manik mata Senja dengan tatapan penuh harap.

Orang-orang bilang, jika kamu sakit karena cinta maka obatnya juga cinta. Jika kamu sakit karena suatu hal, maka hal tersebut juga yang bisa mengobatinya. Dan Jingga percaya, ia juga bisa menjadi obat untuk sakit hati dan penderitaan Senja. Karena semua hal itu juga karena dirinya kan.

"Kalo pun gak gue izinin, lo juga bakal tetap usaha sendiri kan?" Senja menaikan sebelah alisnya, balas bertanya pada gadis berbaju pink di depannya.

Jingga nyengir tanpa dosa, ternyata kembarannya itu cukup mengenal ia yang punya tekad kuat ini. "Berarti kamu izinin aku?" tanya Jingga dengan nada girang.

Senja hanya mengedikkan bahunya acuh lalu berbalik, memilih untuk melanjutkan bermain bersama anak-anak di panti itu saja.

"Yes." Jingga mengepalkan tangan di udara, bersorak senang karena Senja telah memberinya kesempatan.

Ia harus memanfaatkan ini semua dengan baik, karena kesempatan seperti tidak akan datang dua kali.

'SEMANGAT, JINGGA!' batin Jingga menyemangati diri sendiri. Ia lalu memilih ikut duduk di samping Senja dan ikut bermain dengan anak-anak disana.

Senja Tanpa Jingga (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang