Pagi ini rasanya sangat dingin menurut Senja, ia bahkan belum mau lepas dari selimut yang menggulung tubuhnya seperti kepompong. Mungkin efek hujan semalaman, kalau sudah dingin seperti ini Senja jadi malas untuk sekedar membuka mata.
Ketukan pintu beberapa kali terdengar di telinganya, tapi Senja sama sekali tak peduli. Hujan dan dingin seperti ini memang sangat nyaman untuk tidur, ditambah tingkat kemalasan untuk berangkat sekolah yang meningkat hebat karena jalanan yang basah dan becek. Uhh! Senja benar-benar ingin diam disini dan tidur saja. Ia akan menitip absen pada Nafisha nanti, bilang saja jika dirinya belum kuat ke sekolah.
"Senja, ini Bunda. Kamu gak sekolah? Jingga sudah berangkat beberapa menit lalu."
Gue masih mimpi ya? batin Senja begitu mendengar suara Irgita, matanya masih terpejam.
"Senja, kamu denger Bunda kan?"
Sial, ini bukan mimpi. Senja segera membuka matanya, lantas menyibak selimut dan dengan cepat berjalan menuju pintu.
"B-bunda," ujar Senja gagap. Ia terkejut mengetahui jika Irgita memang benar memperhatikannya, walau Senja tak tahu itu tulus atau terpaksa. Tak apa, ini sudah cukup membuatnya senang.
"Kamu gak sekolah?" Irgita memperhatikan penampilan Senja dari atas ke bawah. Gadis itu masih menggunakan piyama berwarna hitam, rambutnya berantakan, serta mata yang masih tampak berat, untungnya tidak ada sisa liur di sudut bibir Senja.
"Enggak, Bun."
"Ya sudah, Bunda cuma mau mastiin itu," ujar Irgita lalu berjalan menjauh.
Senja tersenyum lebar, lalu melangkahkan kaki ke luar kamar. "Makasih, Bunda. Senja sayang Bunda," ucapnya tulus lalu kembali ke kamar tanpa melihat respon Irgita.
Sementara Irgita terdiam kaku di tempatnya setelah mendengar ucapan Senja, ia tak tahu perasaan macam apa yang dirasakannya sekarang. Yang pasti ada rasa sesak sekaligus lega di hatinya, entah apa penyebabnya. Ia lalu berbalik, namun tak menemukan sang anak bungsu di sana. "Padahal Bunda benci kamu, tapi kamu tetap sayang sama Bunda?"
***
Jingga terus saja mengekor dan merecoki aktivitas Senja hari ini, sampai-sampai gadis itu muak dan ingin melempar Jingga ke antartika.
Keduanya kini tengah berada di sebuah toko buku, seperti biasa Senja akan membeli novel fiksi baru untuk dibaca.
"Ja, ini kayaknya bagus." Jingga menyodorkan sebuah buku bersampul biru gelap.
"Gak tertarik," balas Senja acuh setelah melirik buku itu sekilas.
Ia kembali melanjutkan langkah menyusuri rak buku, mengambil satu persatu buku lalu membaca sinopsis di belakangnya. Senja menghela napas, entah kenapa tidak ada buku yang menarik perhatiannya sekarang.
Sodoran buku di depan wajahnya membuat Senja mengernyitkan dahi, ia menoleh pada sang pelaku lalu mengambil alih buku tersebut.
'Jingga dan Senja karya Esti Kinasih' begitulah judul yang ada di buku tersebut. Senja pernah mendengar buku ini sejak lama, tapi ia belum pernah membacanya. Gadis berwajah datar itu lalu membaca sinopsis yang ada di belakang buku, ini novel romance dan tampaknya menarik.
"Ada gak ya buku kayak gitu tapi ceritanya mirip sama kita?" ujar Jingga merangkul Senja sambil ikut memperhatikan buku tersebut.
Senja mengedikkan bahunya acuh kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan Jingga yang menghela napas di tempatnya. Rasanya begitu sulit untuk menaklukkan Senja, tapi ini bukan waktunya untuknya menyerah. Jingga tak pernah menyalahkan Senja karena membencinya atau membalas gadis itu dengan kebencian pula, sungguh! Jingga sangat menyayangi adiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...