Senja turun dari angkot yang ditumpanginya, seperti biasa gadis itu tak lupa membawa kue cokelat kesukaan Bundanya.
Di wajah gadis itu terdapat luka lebam di pipi dan pelipisnya, mungkin efek tawuran tadi.
Ini bukan kali pertama Senja ikut tawuran bersama The Refive, walau ia satu-satunya perempuan disana, namun kekuatan gadis itu setara dengan mereka.
Awalnya Senja belajar bela diri untuk melindungi dirinya. Karna ia tau, tak akan ada yang melindunginya selain dirinya sendiri.
Tapi setelah gadis itu mengenal Regan dan The Refive, ia mulai ikut terjun dalam tawuran.
Gadis itu memutar kenop pintu rumahnya, lalu masuk ke dalam dengan senyum lebar.
"Assal—"
Plak...
Belum sempat Senja menyelesaikan salamnya, sebuah tamparan terlebih dahulu hinggap di pipinya. Begitu keras, hingga membuat sudut bibir gadis itu sobek dan mengeluarkan darah.
"Kamu memang cuma bisa bikin malu," ucap Semesta geram. Hari ini ia pulang cepat, tapi di jalan tadi ia justru melihat Senja yang ikut tawuran bersama teman-teman lelakinya.
"Ngapain kamu ikut tawuran di jalan hah? Mau jadi apa kamu? Preman?"
Senja menggeleng, lalu menatap Ayahnya sendu.
"Senja cuma mau dianggap anak sama Ayah dan Bunda," balas gadis itu dengan senyum pedih.
"Apa gadis berandalan seperti kamu pantas di anggap anak?" ucap Semesta dengan mata menatap Senja nyalang.
"Yang buat aku kayak gini itu kalian," balas Senja. "Kalian yang gak pernah ngasih aku perhatian dan kasih sayang."
"Saya tidak pernah mengharapkan kamu lahir, untuk apa memberi itu semua? Masih untung saya mau menanggung semua kebutuhan hidup kamu."
Sakit, pedih, sesak. Walau Senja tau ia tak pernah diharapkan, tapi mendengar pengakuan langsung dari Ayahnya lebih menyakitkan.
"LALU KENAPA KALIAN TIDAK MEMBUNUH AKU SAJA? KENAPA MEMBIARKAN AKU HIDUP JIKA AKHIRNYA KALIAN MENYIKSAKU DENGAN SEMUA INI? KALIAN SAMA SAJA MEMBUNUH KU SECARA PERLAHAN," teriak Senja kemudian terisak pilu.
Ia benci semua ini, ia benci ketika harus menangis meraung meratapi rasa sakit yang tak pernah absen menghampirinya. Ia benci terlihat lemah seperti ini.
Plak...
Tamparan itu kini diberikan oleh Irgita yang sedari tadi hanya duduk menyaksikan perdebatan anak dan suaminya.
"Anak sialan, tidak tahu bersyukur," geram Irgita.
"Apa yang harus aku syukuri, bun? Disiksa? Diabaikan? Apa itu semua bisa aku syukuri?" isak Senja. Ia kemudian menghapus air matanya dengan kasar, meletakkan kresek kue cokelat ke lantai.
"Ini kue buat bunda," ucap gadis itu tersenyum, lalu berlari menjauh dari sana.
"HEH... MAU KEMANA KAMU? KITA BELUM SELESAI BICARA," teriak Semesta.
Senja tak peduli, ia terus berlari lalu menaiki tangga. Di ujung sana, terdapat Jingga yang berdiri. Gadis itu menatap Senja sendu, hendak membuka suara namun terlebih dahulu Senja sela.
"Puas kan? Ini kan yang lo mau? Makasih buat penderitaannya," ucap Senja lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Jingga meneteskan air mata, ia tak seperti yang Senja pikirkan. Gadis itu menyayangi adiknya, dan menginginkan Senja mendapat perlakuan yang sama dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...