Akhirnya tangan Jingga bisa digerakkan dengan baik hari ini, setelah seminggu lamanya ia rutin di urut. Ia begitu senang karena hal itu, jadi Jingga memutuskan untuk mengajak Senja jalan-jalan hari ini.
Ia menguncir rambutnya yang panjang, kemudian bergegas keluar menuju kamar Senja. Setelah mengetuk cukup lama, kembarannya itu akhirnya membuka pintu.
"Apa?" Sikap dingin Senja tak pernah berubah, tapi gadis itu tak lagi membenci Jingga dan kasar padanya seperti dulu. Senja semakin menerima keberadaan Jingga, walau terkadang beberapa masalah yang terjadi di kehidupan mereka membuat Senja marah pada Jingga. Sempat juga Senja menerima tamparan kembali dari orang tuanya, syukurnya tak sesering dulu.
Kehidupan mereka sudah lebih baik dibanding dulu, keduanya bersyukur akan hal itu.
Jingga mengangkat tangannya yang sudah sembuh, kemudian tersenyum senang. "Liat nih."
Senja menatap pergelangan tangan Jingga dengan datar, lalu menaikkan sebelah alisnya. "Terus?"
Jingga mendengus sebal, saudarinya itu memang selayaknya tembok. Tak punya ekspresi. "Ish ... Lu gak seneng kalo tangan gue sembuh?"
"Seneng," balas Senja acuh, ia lalu berbalik menuju kasur dan duduk di atasnya.
Jingga menyusul dengan langkah ringan, mendaratkan bokong secara tidak santai ke atas kasur Senja. "Jalan kuy," ajaknya.
"Males," balas Senja. Gadis itu duduk di kursi belajarnya, membuka sebuah buku fiksi untuk dibaca.
"Gue yang traktir deh. Kemana aja, terserah lo," bujuk Jingga. Ia melipat kedua kakinya, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecil yang ia bawa.
"Ayo, Ja!" ucap Jingga sambil membuka aplikasi instagram, mencari spot foto tempat biasa teman-teman hits di sekolahnya hangout.
Jingga mengangkat kepalanya karena tak ada respon sama sekali dari Senja, kemudian ia mendengus melihat kembarannya yang tengah asik dengan sebuah buku.
"Asiah Senja Buana, lo punya kuping kan?" kesal Jingga.
Senja spontan menoleh, namun bukannya menjawab ia justru menunjuk telinganya sendiri. Jingga semakin kesal di buatnya, tak habis pikir kenapa dirinya bisa punya saudari seperti Senja.
Mak gue pas hamilin si Senja ngidam apa yak? Kok hasilnya begitu? Apa salah gaya pas buat? pikir Jingga, sepertinya ia lupa jika dirinya dan Senja berbagi rahim.
Ia menatap Senja dengan tatapan jengah, kemudian dengan sedikit melotot mencoba membaca pikiran Senja yang tentunya tak akan berhasil. Lagi pula dia tidak punya kekuatan super semacam itu.
"SENJA ... AYO KITA JALAN!" teriak Jingga membuat Senja kaget hingga menjatuhkan buku dari tangannya.
"Sialan lo!" umpat Senja sambil melempar sebuah pulpen kepada Jingga. Jingga dengan cepat menghindar, gadis itu lalu cengengesan.
Ia bangkit dari kasur, kemudian berjalan mendekati Senja. Memeluk gadis yang tengah kesal itu dari belakang kursi. "Ayo, gue maksa."
Senja menghela napas lelah, kembarannya itu memang sangat pemaksa. "Gue belum mandi," ucapnya beralasan.
"Pantes ada bau busuk dari tadi," balas Jingga cepat. Seketika sebuah buku mendarat di kepalanya membuat Jingga mengaduh dan segera mengelus puncak kepala.
"Gue siap-siap," kata Senja tiba-tiba. Raut wajah Jingga yang tadi kesakitan berubah menjadi ceria kembali, senyum cerah terbit di bibirnya yang merah ranum.
"Gue tunggu di bawah."
***
Kedua gadis dengan wajah sama persis itu berjalan bergandengan di pinggir danau yang menenangkan. Lebih tetapnya Jingga lah yang memaksa menggandengan tangan Senja. Sedari tadi gadis itu terus saja mengoceh tentang impiannya kepada Senja.
"Ja, pokoknya nanti kalo kita berdua punya pacar, kita harus double date," ujar Jingga dengan riang.
"Gak ada yang mau sama gue," balas Senja dengan nada datar.
"Ada," sahut Jingga. Senja lantas menoleh, menaikkan sebelah alisnya bertanya. "Regan pasti mau," kekeh Jingga melanjutkan.
Senja dengan cepat memukul pelan kepala kembarannya, merasa gadis itu tengah mengada-ngada.
"Gue tau lu sebenarnya peka kalo Regan suka sama lo, cuma lo berusaha lari dari kenyataan aja. Lo terlalu takut buat jatuh cinta dan takut dicintai." Keduanya menghentikan langkah, Jingga menghadap ke arah Senja, menatapnya dengan serius.
Jingga memegang kedua bahu Senja, kemudian menatap mata elang adiknya itu. "Lo gak bisa selamanya menutup diri, Ja. Gak semua orang itu jahat, lo juga pantas buat dapetin cinta seseorang."
Senja menghela napas, terlalu gengsi hanya untuk mengatakan jika dia memang perlu cinta. Rasanya terlalu mustahil untuknya mendapat cinta yang tulus dari seseorang setelah keluarganya sendiri mencampakkannya tanpa arti.
"Lo gak akan pernah tau hasilnya kalau belum nyoba, buka hati lo! Lo gak bisa kayak gini selamanya." Jingga dengan tulus menatap Senja, mengangkat sebelah tangannya lalu mengelus pipi sang adik.
"Apa yang bisa orang cintai dari gue? Gak ada, Ga," tutur Senja. Mata gadis itu kini berubah sayu, seperti awan yang mendung, air dari mata Senja siap untuk tumpah.
"Gue gak punya hal spesial, Ga. Sekalipun Regan bilang dia cinta sama gue, gue gak akan pernah bisa percaya. Gue ngerasa gak pantas, Ga." Seketika, pertahanan Senja runtuh. Untuk pertama kali ia mengadu pada Jingga, menangis di depan gadis yang dulu ia anggap musuh terbesarnya. Seseorang yang dulu ia benci dan ia anggap akan menghancurkan hidupnya.
"Lo berharga, lo spesial dengan cara lo. Lo pantas tentang apapun itu, gue mohon jangan terlalu menekan diri lo sendiri," ucap Jingga kemudian menarik Senja kedalam pelukan.
"Gue sayang sama lo. Gue mau liat lo bahagia sama orang yang mencintai lo," lanjut Jingga. Ia meneteskan air mata, ikut merasakan kepedihan yang Senja rasakan.
Semilir angin meniup rambut keduanya, pepohonan di sekitar dan danau menjadi saksi bisu bagaimana dua orang ini saling berpelukan. Berdamai dengan diri sendiri dan juga orang lain.
"Jangan tinggalin gue," ucap Senja. Kalimat itu benar-benar membuat Jingga tak menyangka, bagai ditarik ke alam mimpi. Jingga mematung, otaknya masih bekerja mencerna ucapan Senja. Seperti mengkonfirmasi jika ia tak sedang berkhayal, bahwa ucapan itu benar terlontar secara sadar dari mulut Senja.
"Ja, lo bilang apa?" Jingga bertanya, memastikan jika ia memang tak salah dengar.
Ia melepaskan pelukannya, kembali memegang bahu Senja. Dengan jantung berdebar ia menunggu Senja menjawab pertanyaannya.
"Lo jelek," balas Senja sambil menghapus air matanya. Jingga mencebikkan bibirnya kesal karena jawaban Senja tak seperti yang ia diharapkan, adiknya itu memang sangat anti mengulangi kata-kata manis seperti tadi.
Senja yang mendapati kekesalan Jingga justru tersenyum tipis, ia mengulurkan tangan menghapus air mata di pipi Jingga. Kemudian menarik Jingga kembali ke pelukannya. "Gue sayang sama lo."
Jingga menganga dalam pelukan Senja, gadis itu memang benar-benar sulit di tebak. Jingga tak habis pikir, tapi ia begitu senang sekarang. Dengan erat ia membalas pelukan Senja, memejamkan mata menikmati kehangatan tubuh saudarinya. Jika saja Senja ini seorang laki-laki dan tak memiliki hubungan darah dengannya, mungkin Jingga sudah jatuh cinta sejak lama.
🔅🔅🔅
Ada yg baper gak ama Senja?😂
Ini cerita random amat yak😭
Kalian bosen gak sih?
Btw, bantuin share dong biar ceritanya rame hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...