Duduk sendirian ditengah ruangan, Senja menghela napas panjang. Tenggelam pada pikiran-pikiran yang tak punya arah tujuan.
Ia sadar, ia kini tak memiliki apa-apa. Ia hanya sosok kelam yang kesepian di tengah riuhnya dunia. Sendirian. Menyedihkan.
Tak ada lagi tenang di rumah itu, tak ada lagi hangat yang selalu Senja rindu. Tempat ini, kini hanya sekedar bangunan hampa dengan dinding-dinding dingin tak bernyawa. Sunyi, dan Senja benci ini.
Di tengah ruang kosong dengan detik jarum jam yang menggema, ia kembali menenggelamkan diri pada suramnya jingga. Pekat yang biasa ia lihat, hangat yang biasa mendekap, kini benar-benar telah pergi. Selamanya.
Tanpa sadar, sesak di dadanya kembali menyeruak keluar. Juga mata yang kian memerah. Buru-buru ia mendongak, berusaha menghalau air mata yang nyaris tumpah. Tapi ia gagal. Bulir bening kembali mengalir di pipi tirusnya, disusul isak tangis yang memilukan.
Senja menghela napas panjang, berusaha meredam sesak yang kembali menikam. Menekan dada dengan segala kekuatan. Sebelum akhirnya ia dikalahkan kesakitan, kenyataan pahit itu kembali menampar. Teriakan keras keluar dari bibirnya yang memucat, tubuhnya bergetar hebat.
"KENAPA HARUS KAYAK GINI?" Senja meraung, sebelah tangannya memukul Sofa yang menopang tubuh lemahnya.
Hancur, kata itu yang kini menggambarkan kondisi hati dan raga Senja. Ia merengkuh tubuh sendiri, menggigit ujung lengan baju yang ia kenakan.
"KENAPA GAK GUE AJA YANG MATI?" Sekeras apapun Senja mencoba untuk merelakan semuanya, ia tetap tak bisa. Sekuat apapun dia, kenyataan pahit ini begitu menyakitinya. Merenggut segala hal baik dalam hidupnya. Apa Senja memang pantas mendapatkan ini semua? Apa dirinya memang tak layak bahagia?
Dering ponsel di sisinya membuat gadis itu terusik, ia menatap nanar benda pipih tersebut. Nama Nafisha tertera di layar untuk beberapa menit, lalu menghilang karena tak Senja hiraukan. Ratusan bahkan ribuan pesan tak terbaca dan panggilan tak terjawab memenuhi bilah notifikasi ponselnya. Senja tak peduli, ia hanya ingin sendiri.
Sekali lagi benda pipih itu berdering, membuat Senja kesal lalu menutupinya dengan bantalan sofa. Ia perlahan bangkit, berjalan menaiki tangga. Gadis itu berhenti di depan kamar Jingga, dengan tangan bergetar memutar kenop pintu.
Ruangan ini, tempat yang sejak dulu paling ia hindari untuk sekedar menginjakkan satu kaki.
Menyeret pelan kaki, ia menyusuri ruangan ini. Matanya dulu selalu tajam, kini tengah menatap sayu sebuah foto di sisi kamar. Ia tersenyum kecut, selanjutnya berjalan ke sisi meja. Dengan ragu-ragu ia raih sebuah buku diary di atasnya, kemudian mundur untuk duduk di ujung ranjang.
Ia membuka halaman buku tersebut acak, namun apa yang tertulis disana justru kembali membuatnya berduka.
Tadi pagi gue di kasih 2 buah cokelat sama Rere. Karena gue tau Senja suka banget sama cokelat, jadi gue kasih dia satu. Sayangnya gue gak ngecek dulu itu cokelat rasa apa.
Senja alergi kacang, tapi cokelat itu ternyata pake kacang. Dia salah paham lagi untuk kesekian kalinya, mengira semua itu kesengajaan gue.
Maaf ya Ja, gara-gara kakak kamu menderita mulu. Kakak terlalu ceroboh yang justru bikin kamu kena musibah.
Maaf karena gue yang terlahir sebagai kakak, jadinya lo gak dianggap.
Senja menjatuhkan buku tersebut, ia kembali terisak. Dalam hati berulang kali ia mengatakan maaf, merasa betapa jahat dirinya pada sang kakak yang begitu tulus menyayanginya.
Sebuah amplop putih ikut terjatuh bersamaan dengan buku tersebut, ia memungut keduanya. Penasaran dengan isi amplop tersebut, namun memilih menyimpannya. Ia merasa butuh istirahat, Senja sadar jika tak ada gunanya semua yang ia lakukan sekarang. Gadis itu menyimpan amplop tersebut dalam saku, memutuskan untuk membacanya besok. Lalu berbaring di atas kasur milik Jingga, berharap hangat gadis itu masih tertinggal disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Dla nastolatkówJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...