Makasih ya udah stay
Kalian baik banget💜Malam ini kamar yang biasa sepi dengan kesuraman dan temaramnya cahaya itu begitu berisik. Seorang gadis tengah meloncat-loncat di atas kasur sambil bersenandung mengikuti alunan musik yang menggema. Seorang lagi tengah duduk diam dengan mata terfokus pada gadis tersebut, tatapan tajam juga wajahnya begitu kesal.
"Huuu ... Ayo, Ja! Kita pesta!" Teriakan Jingga menggema di sela-sela riuhnya musik. Ia masih terus meloncat dengan tangan kiri terangkat dan tangan kanan di depan bibir yang tengah memegang sebuah bolpoin.
Senja menarik napas panjang, berusaha menahan emosi yang hampir meledak di tempat. Ingin sekali rasanya ia mengambil seember air dan menyiramkannya pada Jingga, agar api semangat yang membara pada tubuh kembarannya itu lenyap seketika.
"Ja, ayo! Nanti aja belajarnya. Belajar juga butuh mood dan semangat," kata Jingga nyaring.
Senja tidak tahan, ia melempar buku yang sedari dipegang ke arah Jingga. Sedikit meleset, namun cukup membuat gadis petakilan di depannya itu diam sejenak. "Mood gue udah ilang sejak lo obrak-abrik kamar gue!"
Rasanya kepala Senja ingin pecah sekarang. Kamar gadis itu kini sungguh berantakan akibat ulah kembaran tak tahu diri nya itu. Selimut dan bantal sudah berjatuhan dari sisi kasur, belum lagi makanan ringan dan buku tebal yang tergeletak asal di karpet berbulu. Jingga juga membawa speaker bluetooth dengan lampu yang menyala bergantian warna, sudah selayaknya lampu disco.
"Nanti gue beresin, Ja. Tenang aja."
Senja mendengus. Ia memilih bangkit dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Jingga yang terus saja berteriak memanggil namanya.
Ia berjalan menuju dapur, merasa membutuhkan sesuatu untuk menyejukkan tenggorokannya yang kering.
"Bunda," panggil Senja dengan senyum manis begitu mendapati Irgita yang tengah asik memotong beberapa buah-buahan segar.
"Kenapa di atas berisik?" tanya wanita paruh baya itu dengan wajah tak bersahabat. Ia menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.
"Jingga lagi konser," jawab Senja antusias, merasa senang karena bisa mengobrol dengan sang Ibunda.
Ia berjalan ke arah kulkas, mengambil sebotol air mineral lalu meneguknya. "Bunda perlu bantuan?"
Irgita menggeleng, dengan cepat menyelesaikan aktivitasnya. Senja mengerti, Bundanya berusaha menghindar. Dengan senyum yang sedikit dipaksa, ia beralih ke sisi wanita itu. "Bunda, Senja dan Jingga aja udah baikan. Bunda sama Ayah kapan bisa berdamai sama Senja? Damai beneran bukan pura-pura kayak gini."
Wanita dengan piyama kuning itu menarik napas kasar, membereskan buah dan alat yang baru saja ia gunakan. "Kamu pikir saja sendiri," ucapnya lalu berjalan menjauh.
"Senja pikir, Bunda dan Ayah yang harusnya berdamai sama diri sendiri. Diri kalian yang gak bisa nerima kenyataan kalau kalian itu punya dua anak. Diri kalian yang gak bisa nerima kalau Senja ada di sini."
Perkataan Senja membuat Irgita seketika menghentikan langkahnya, wanita itu terdiam dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan. Ia menghela napas, menoleh sebentar pada Senja.
"Tidurlah, sudah malam," katanya kemudian kembali berjalan, meninggalkan Senja yang hanya bisa mematung di tempat. Helaan napas Senja terdengar begitu berat, ia tertawa pelan.
"Masih aja sakit," ucapnya sambil menekan dada. Sudah ke sekian kali, namun rasa sesak di hatinya tetap sama. Buru-buru ia mendongak, menghalau air mata yang hampir saja tumpah. Tidak! Dia tidak boleh menangis lagi kali ini!
Ia kemudian memejamkan mata, beralih menenggelamkan wajah dengan bertumpu di atas meja dapur. Sesaat ia terdiam, berusaha menghilangkan rasa sesak yang menolak keluar.
Sentuhan di bahunya membuat Senja mengangkat kepala, menatap pada sosok gadis seumuran dengannya yang kini tersenyum hangat.
"Sini," ucap Jingga sembari merentangkan tangan, menyuruh kembarannya itu untuk masuk ke dalam rengkuhannya.
"Lo liat?" tanya Senja sembari mendekat, tangannya ia lingkarkan pada pinggang kecil sang kakak. Matanya terpejam dengan dagu yang menempel pada bahu Jingga.
Jingga mengangguk sembari mengelus kepala dan punggung Senja. Tadinya ia hendak menyusul Senja, takut jika gadis itu kesal dan tak mau lagi berbicara dengannya karena Jingga yang mengobrak-abrik kamar sang adik. Namun pemandangan di depannya membuat Jingga memilih bersembunyi di balik tembok, berharap Senja dan Irgita mengobrol dengan hangat. Sayangnya, harapan Jingga berakhir kepedihan. "Ingatkan? jangan ngemis perhatian dan cinta mereka lagi! Ada gue, gue bakal kasih itu ke lo walau gak sesuai sama apa yang lo harapin. Gue gak mau lo kecewa terus kayak gini, gue juga sakit liatnya."
Ada rasa hangat di hati Senja begitu mendengar perkataan Jingga, setidaknya dia masih punya satu harapan. Ia masih memiliki Jingga sebagai keluarga, walau setengah hatinya terasa kosong tanpa rasa cinta orang tua.
Senja menjauhkan diri dari Jingga, menatap lurus pada binar mata sang kembaran. Ia tak tahu sorot macam apa yang Jingga pancarkan dari bola matanya, tapi yang pasti, Senja merasa aman.
Gadis dengan rambut kuncir kuda itu tersenyum, matanya yang biasa menatap tajam ikut tertarik ke atas. "Ayo, belajar! Besok masih ulangan."
"Skuy lah," ucap Jingga lalu merangkul Senja. Keduanya lantas kembali ke lantai atas, menuju kamar Senja. Senja juga tak mau berlarut dengan kesedihan yang tiada ujungnya dan tak menghasilkan apa-apa, lebih baik dia fokus dengan sekolahnya terlebih dahulu. Walau terkenal pembangkang, tapi Senja juga peduli pada nilainya.
🔅🔅🔅
Part ini cuma 811 kata
Writer's block guys, kelamaan gak nulis.Setelah sekian lama gak update karena kesibukan sekolah+magang
Akhirnya aku bisa lanjutin cerita kesayanganku iniMakasih buat kalian yg udh stay
Kalian baik bgt❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Fiksi RemajaJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...