Senja berusaha membuka matanya yang berat, hal pertama yang ia rasakan adalah tubuhnya yang terasa remuk. Ruangan putih menyambut ketika mata itu terbuka sepenuhnya, serta seorang gadis yang tertidur di kursi dengan kepala dan tangan yang bertumpu pada brankar tempat Senja saat ini terbaring.
Tenggorokannya terasa tersekat, tapi tangannya tak dapat menjangkau segelas air di atas nakas. Ia mencoba bangkit, namun rasa sakit di punggungnya membuat Senja meringis.
“Senja, lo udah sadar? Lo mau apa? Kenapa gak bangunin gue?” ucap Jingga yang baru saja terbangun ketika mendengar ringisan Senja.
“Air,” ucap Senja dengan suara serak.
Dengan segera Jingga mengambil segelas air putih di atas nakas, lalu membantu Senja untuk minum. Ia menatap Senja sendu, kembarannya itu tampak begitu lemah. Senja yang biasanya terlihat kuat dan kasar, kini terlihat begitu tak berdaya. Sebab itu pula Jingga merasa semakin tak berguna, ia merasa gagal menjadi seorang kakak.“Maaf,” ucap Jingga dengan air mata yang perlahan mengalir deras di pipinya.
Senja tampak tersenyum tipis, mengangkat satu tangannya dengan sedikit kesusahan lalu mengusap air mata Jingga. “Gue gak nyalahin lo kali ini.
Jingga menggeleng, tak setuju dengan ucapan Senja. Ia merasa penyebab ini semua adalah dirinya. Benar ucapan Senja dahulu, Jingga adalah sumber penderitaannya. Karena Jingga, Senja tak pernah mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Harusnya dari dulu aku berusaha lebih keras buat bikin Bunda sama Ayah memperlakukan kamu adil dan menyayangi kamu. Aku gak pernah marah saat kamu bilang aku munafik atau saat kamu bilang benci ke aku, karena memang semuanya salah aku.”
Kali ini Senja tak menjawab apa-apa, ia hanya diam sambil memperhatikan Jingga yang terisak sambil mengungkapkan penyesalannya. Kebencian Senja pada Jingga masih ada, tapi semakin kesini ia semakin memikirkan segalanya. Bahwa dengan atau tanpa adanya keterlibatan Jingga, kedua orang tuanya akan tetap menyalahkan Senja.
Jika boleh jujur, pikiran untuk memperbaiki hubungan persaudaraan mereka selalu terlintas di benak Senja. Namun sekali lagi, kebencian selalu menguasai diri.
Senja menatap jendela yang terbuka, menyaksikan langit sore yang kini kelabu. Senja kali ini hadir tanpa pesona warna Jingga-nya, membuat Senja menyadari satu hal. Senja di langit sana tak akan pernah terlihat indah tanpa hadirnya Jingga. Ia lalu kembali menoleh pada kembarannya yang masih sibuk melafalkan penyesalan, “tapi gue masih benci sama lo.”
Suara dering ponsel mengalihkan perhatian keduanya, Jingga dengan segera bangkit dan mengecek ponsel. Terdapat panggilan dari bundanya yang tentu saja tak akan ia terima.
“Siapa?” Senja menaikkan sebelah alisnya bertanya, merasa aneh mengapa Jingga tak menjawab panggilan tersebut.
“Bukan siapa-siapa.” Bertepatan dengan jawaban Jingga, ponsel gadis itu kembali berdering. Ia berdecak sebal, dan hendak mematikan panggilan itu sekali lagi.
“Angkat aja,” kata Senja. Jingga menggeleng sebagai tanpa penolakan, ia sangat tidak ingin menerima panggilan tersebut dan berbicara pada bunda maupun ayahnya.
Senja mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap sang kakak. Ia lalu mengulurkan tangan, meminta agar dirinya saja yang mengangkat panggilan tersebut. Namun sekali lagi, Jingga dengan keras menolak.
“Ini bunda,” aku Jingga akhirnya.
“Terus?”
Jingga menghela napas, ia tahu jika Senja mengetahui apa yang saat ini ia pikirkan dan apa alasannya tidak mengangkat panggilan dari Irgita. Senja tampaknya hanya memancing Jingga agar mengungkapkan isi hati gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...