🔅45🔅

2.1K 182 9
                                    

"Yang bener aja, Ga?"

Jingga menampilkan senyum lebar, lantas merangkul sang kembaran yang masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Balon berwarna biru dan putih di setiap sisi, juga beberapa poster dan spanduk dengan tema Frozen. Kue dengan patung kecil Elsa dan Ana di atasnya, khas kue ulang tahun anak berusia dibawah lima tahun. "Lo kan suka warna biru."

"Ya gak gini juga, emang kita bocah."

"Gapapa tau, ini tuh cute. Lo Elsa dan gue Ana nya, cerita hidup kita juga mirip sama mereka berdua," ungkap Jingga, kemudian menarik Senja untuk duduk disana.

"Oh, iya ... Lo tunggu di sini sebentar ya, gue mau ambil sesuatu dulu." Tanpa menunggu jawaban Senja, Jingga berlari kecil menjauhi gadis itu.

"Kemana? Awas aja kalo lo ninggalin gue!" teriak Senja.

"Gak akan, gue janji!"

Senja menghela napas, ia menoleh ke sekeliling lalu tertawa kecil. Jingga memang ada-ada saja, merayakan ulang tahun di tepi danau saat tengah malam buta, juga dengan dekorasi kartun Frozen yang biasa digunakan anak kecil. Rambutnya tertiup sejuknya angin malam, membuat Senja merinding.

"Lama banget," keluh Senja. Ia sedikit khawatir ditinggal Jingga sendirian di sini. Walau gadis itu sudah berjanji akan kembali, namun Jingga sering kali ingkar. Itu lah yang membuat Senja sulit percaya padanya.

Senja memutuskan untuk bangkit, gadis itu berjalan menuju jalan raya. Ia pikir Jingga tengah mengambil sesuatu di mobil mereka yang terparkir seberang jalan ini.

Sementara disisi lain, Jingga baru saja keluar dari mobil setelah bersusah payah mencari barang yang telah ia siapkan sedari kemarin. Memang dasarnya dia yang ceroboh dan pelupa, padahal dirinya sendiri yang menyembunyikannya.

Jingga tersenyum menatap tote bag di tangannya, lalu memeluk benda itu erat karena di dalamnya adalah hadiah istimewa untuk Senja.

Ia lalu berjalan menyebrangi jalan, matanya terfokus pada figur gadis tak jauh di seberang sana yang tengah berjalan ke arahnya. Saking fokusnya pada Senja, Jingga lupa melihat sekeliling. Tiba-tiba sesuatu yang amat keras menghantam tubuhnya, Jingga merasa tubuhnya terhempas hebat. Kepalanya berdenyut sakit, tubuhnya terasa remuk, matanya juga memburam. Dapat ia dengar suara-suara yang begitu berisik di sekitar, ia hendak membuka suara namun seperti ada sesuatu yang menahan tenggorokannya.

"JINGGA!" Itu teriakan Senja, ia hendak bangkit atau sekadar menoleh tapi tak bisa. Tubuh Jingga terasa kaku, bahkan untuk sekedar menggerakkan satu jarinya pun tak bisa.

"Jingga." Ia bisa melihat sosok kembarannya yang mengangkat tubuhnya, Jingga merasakan pelukan erat Senja.

Air mata Senja jatuh ke pipi Jingga, itu membuat ia sadar dengan apa yang kini terjadi. Ia ikut menjatuhkan air mata, berharap jika ketakutannya tak menjadi nyata.

"J-Jingga, please bertahan," ujar Senja tersedu-sedu. Jingga membuka mulutnya, berusaha berbicara walau tak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Ia kembali meneteskan air mata, apa ini hari terakhirnya di dunia? Apa dirinya akan meninggal sekarang juga?

"Jingga, gue mohon bertahan. Gue sayang sama lo, jangan tinggalin gue," ujar Senja sesenggukan. Bodoh! Kenapa baru sekarang ia mengatakan hal demikian? Kenapa di saat kembarannya ini sekarat? Senja merutuki dirinya dalam hati, ia menyesali semua ini. Senja takut, takut kehilangan Jingga. Jingga adalah seseorang yang mengobati luka menganga di hatinya, lalu apa jadinya ia jika kembarannya itu pergi untuk selamanya.

"A-aku ju ... juga sa-sayang banget sam ... sama kamu." Akhirnya Jingga bisa mengeluarkan suaranya setelah tertahan begitu lama.

"Iya, aku tahu. Jadi tolong bertahan," balas Senja sembari mengeratkan pelukannya. Jingga tersenyum, menutup mata sebentar berusaha merekam hangatnya pelukan Senja. Ia kembali membuka mata, susah payah mengangkat tangan lalu menyusuri wajah Senja dengan jari-jari lentiknya. Berusaha untuk mengingat selalu wajah cantik kembarannya, sebelum ia pergi sepenuhnya.

Senja Tanpa Jingga (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang