Senjaku, apa kabarmu hari ini?
Aku sudah berusaha sejauh ini.
Semoga bukan khayal ku, bahwa kamu sudah secerah itu.Jikalau batu bisa pecah karena tetesan hujan yang terus menerus.
Aku harap dinding beku di hatimu juga bisa hancur dengan kehangatan ku.
Senjaku, tolong kerjasama nya.
Ikuti kata hatimu, bukan gengsimu.Jingga tersenyum lembut setelah menulis serangkaian kata di atas buku bersampul orange, buku tempat biasa ia menuangkan isi hatinya. Buku yang juga menemaninya sejak awal berjuang meluluhkan hati senja, dan kini buku itu hanya tersisa beberapa lembaran kosong.
Gue harap seiring habisnya lembaran kosong di buku ini,, hubungan kita juga bisa sehangat matahari. Jingga menarik buku tersebut dalam pelukan, lantas memejamkan mata berharap semua yang ia inginkan tercapai.
"Agh," ringis Jingga setelah tangan kanannya tak sengaja mengenai sudut meja. Jingga terlahir kidal tapi ia bisa menulis dan mengerjakan sesuatu dengan kedua tangannya secara seimbang, dengan kata lain ia adalah seorang ambidextrous. Ini adalah kemampuan yang langka, dan Jingga bersyukur memilikinya karena disaat salah satu tangannya tak berfungsi dengan sempurna, ia bisa menggunakan tangan satunya dengan baik.
Suara ketukan pintu kemudian mengalihkan fokus Jingga, ia menyimpan buku tadi ke dalam laci lalu bangkit untuk membukakan pintu.
"Loh, dia siapa?" tanya Jingga setelah mendapati Senja di depan pintu kamarnya, namun gadis itu tak sendiri, ada seorang wanita paruh baya di sampingnya.
"Masuk aja mbok," ucap Senja pada wanita tersebut lalu pergi menuju kamarnya tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Jingga.
"Senja, woi!" Jingga menekuk wajahnya, kebiasaan Senja yang seperti ini benar-benar membuatnya kesal. Apa susahnya menjawab pertanyaan Jingga. Dasar kutub es, gue doain lu mencret-mencret karna cuekin gue mulu!
"Saya tukang urut, neng. Neng keseleo kan?" ujar wanita tadi, Jingga dengan cepat mengangguk. "Nah, neng Senja minta saya ngurut tangan eneng."
Jingga membulatkan mulutnya, ia memicing menatap pintu kamar senja yang tertutup. "Sudah gue dugong, lu tuh perhatian tapi gengsi," ujarnya dengan senyum miring sambil mengusap-usap dagu.
"Ya udah, mbok. Yuk masuk."
***
Senja duduk di balkon kamarnya, malam ini langit begitu cerah dengan bintang dan bulan yang bersinar terang. Sayangnya, suasana hati Senja tak secerah itu. Dia kembali disakiti hari ini, tadi setelah kedua orang tuanya pulang dan mengetahui keadaan Jingga, orang pertama yang mereka salahkan adalah dirinya.
Senja tahu jika kedua orang tuanya belum benar-benar menerimanya, tapi kenapa dirinya harus selalu disalahkan? Padahal Senja tidak tahu apa-apa. Satu tamparan keras dari Irgita ia dapatkan kembali hari ini, Jingga tak mengetahui hal ini dan biarkan lah terus seperti itu. Senja tahu jika Jingga lah alasan Semesta dan Irgita memperlakukannya baik, tapi ini terasa lebih menyakitkan karena kepalsuan. Senja lebih baik menerima perlakuan kasar daripada mendapat kasih sayang yang palsu, di depan Jingga kedua orang tuanya akan bersikap baik tapi di belakang mereka akan kembali bersikap tidak peduli. Senja tidak suka itu.
Senja menghela napas kemudian mengusap wajah kasar. Ia menunduk, mengangkat kakinya lalu menenggelamkan wajah diantara kedua lutut. Ia tenggelam dalam angan yang tak sampai dan bayang-bayang keterpurukan, nyatanya kehidupan yang sebenarnya itu menyakitkan.
Seseorang tiba-tiba memeluk tubuhnya, Senja terlonjak kemudian menatap tajam sang pelaku yang justru tersenyum tulus padanya.
"Sini, gue mau peluk lo." Jingga merentangkan tangan kirinya, Senja yang memang cuek dan gengsian hanya menatap datar kearah kembarannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...