Sudah pukul setengah lima, namun kedua gadis itu masih bergelung dalam selimut dengan saling berpelukan. Satu diantaranya menggeliat pelan, membuka mata dengan sedikit malas lalu tersenyum melihat posisi tidurnya bersama sang kembaran.
"Gini terus ya, jangan benci-benci sama gue." Jingga membelai lembut pipi mulus adiknya, menyingkirkan rambut yang menutupi wajah gadis itu secara perlahan. Ia lalu kembali memeluk Senja, kali ini lebih erat seperti takut jika ia tak bisa memeluk gadis itu lain kali.
Senja menggeliat dalam pelukan Jingga, namun gadis itu tak terbangun padahal mereka belum melaksanakan sholat subuh. Jingga melirik jam yang melekat di dinding kamar itu, ia melepas pelukan pada Senja lalu bangkit.
"Ja, bangun! Sholat subuh dulu yuk," ujar Jingga sambil menepuk-nepuk pelan pipi dan lengan Senja.
Senja menggeliat kembali, dengan penuh perjuangan membuka matanya yang berat. Ia menguap lalu mengucek mata, dengan lemas Senja mendudukkan diri di atas kasur. Pemandangan Senja yang seperti ini membuat Jingga gemas sendiri, wajah adiknya itu terlihat begitu polos seperti anak kecil. Jingga tak mendapati tatapan tajam dan wajah datar gadis itu, hanya ada wajah mengantuk yang begitu menggemaskan di matanya.
"Ayo." Jingga menarik lengan Senja dengan tangan kirinya.
Senja bergumam tak jelas, sepertinya kesadaran gadis itu belum terkumpul sepenuhnya. Ia dengan lunglai mengikuti langkah Jingga yang menariknya ke kamar mandi, walau rasa mengantuk dan malas mendominasi tapi kewajibannya sebagai umat muslim adalah yang utama.
Setelah keduanya mencuci muka, menggosok gigi dan berwudhu barulah mereka mendirikan sholat subuh. Kali ini Senja merasakan ketenangan yang luar biasa, melaksanakan sholat bersama Jingga setelah belasan tahun lamanya terasa begitu membahagiakan.
"Gue ke kamar ya. Hari ini gue gak bisa berangkat bareng lo." Mendengar ucapan Jingga, Senja yang sedang merapikan mukena langsung berbalik menatap kembarannya itu.
"Hari ini gue olimpiade, doain gue biar menang," lanjut Jingga. Senja mengangguk mengerti, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti.
Gue berharap lo semangatin loh, Ja. Tapi kayaknya emang mustahil, lo tetap aja dingin, batin Jingga sendu. Ia menghela napas, lalu berbalik. Perlahan ia berjalan menuju pintu kamar, saat dirinya benar-benar hendak keluar, Senja tiba-tiba memanggil namanya.
"Kenapa?" tanya Jingga sambil menoleh ke belakang.
"Semangat," ucap Senja dengan nada lembut dan senyum tulus. Jingga menganga di tempat, rahang gadis itu sepertinya hampir jatuh saking besarnya dia ternganga. Memang ini yang dia harapkan, tapi untuk menjadi kenyataan ... Jingga pikir itu tidak mungkin terjadi. Ia menepuk pipinya sendiri dengan sedikit kasar, lalu mengaduh kesakitan.
Gue gak mimpi, ucapnya dalam hati lalu tersenyum kegirangan. Ini lebih membahagiakan daripada mendapatkan doorprize. Jingga berlari ke arah Senja yang menatapnya aneh, gadis itu segera memeluk Senja erat.
"Hua ... Makasih," pekik Jingga senang.
"Agh ... Gak usah peluk gue," ujar Senja mendorong kedua lengan Jingga, tapi kembarannya itu dengan erat memeluknya dan justru menggodanya untuk tak melepaskan pelukan mereka.
"Jingga, gue tendang lo!" ancam Senja.
Jingga bergidik lalu mundur ke belakang, ia terkekeh geli melihat wajah kesal Senja. Dulu ketika Senja marah dan kesal seperti ini rasanya begitu menyeramkan, tapi sekarang Jingga justru menganggap wajah kesal Senja sangatlah lucu dan menggemaskan.
"Keluar lo!" usir Senja. Ia kembali berbalik membelakangi Jingga dan merapikan mukenanya, padahal mukena tersebut sudah rapi. Gadis itu tak ingin Jingga melihat senyum tipis di bibirnya, jadi die berbalik menyembunyikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Jingga (End)
Teen FictionJingga pikir, memiliki saudara kembar adalah hal yang menyenangkan. Ia pikir keduanya akan akrab dan saling menyayangi. Namun ternyata Jingga salah, Senja justru membencinya. Senja benci segala hal tentang Jingga, sampai pada akhirnya Jingga harus s...