🔅#14🔅

1.9K 196 10
                                    

Jingga berjalan tertatih memasuki rumahnya. Setelah mengucapkan salam, sang bunda langsung menjawab dan menghampirinya. Berbanding jauh jika seandainya Senja yang melakukan hal serupa.

"Sayang, kamu kok telat pulangnya?" tanya Irgita menyambut kedatangan sang putri.

"Tadi ada urusan dulu, bun," jawab Jingga dengan senyum merekah.

Irgita mengangguk mengerti, lalu matanya menangkap pemandangan dimana lutut Jingga yang lecet.

"Loh, ini kenapa?" Irgita menatap Jingga khawatir lalu menarik sang putri ke sofa ruang tamu.

"Tadi gak sengaja jatuh pas jalan," balas Jingga.

Irgita menyentil dahi Jingga pelan, "lain kali jalannya hati-hati, jangan ceroboh."

Jingga tersenyum, Bundanya begitu baik dan perhatian kepada dirinya. Namun senyum itu memudar ketika mengingat perlakuan bundanya yang sebaliknya pada Senja.

Irgita berjalan menjauh, kemudian kembali dengan membawa kotak P3K untuk mengobati luka Jingga.

"Bunda," panggil Jingga pelan. Irgita hanya berdeham sebagai jawaban, karena wanita itu sedang fokus membersihkan luka Jingga.

"Bisa gak, bersikap yang sama ke Senja seperti sikap bunda ke aku sekarang?" tanya Jingga hati-hati.

Irgita dengan cepat menoleh, ekspresinya yang tadi lembut dan penuh kasih berubah datar dan menatap Jingga tajam.

"Kamu boleh minta yang lain, selain hal itu," ucap Irgita lalu mengemasi kotak P3K tersebut dan hendak menyimpannya kembali.

"Kalo aku yang terlahir sebagai adik, mungkin aku yang berada di posisi Senja sekarang. Dan aku tahu itu menyakitkan, bunda." Perkataan Jingga tersebut menghentikan langkah Irgita.

Wanita itu kemudian menoleh, lalu dengan tegas berkata, "Naiklah ke kamarmu dan istirahat, semua yang kamu ucapkan tak bisa merubah apapun."

Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya, meninggalkan Jingga yang terdiam dengan air mata yang perlahan jatuh.

"Senja, gimana caranya aku bisa bantu kamu?" monolog Jingga. Gadis itu menangis sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Ia ingin adiknya ikut merasakan kebahagiaan sepertinya, ia ingin keluarga yang harmonis dengan Senja di dalamnya.

Hal yang selalu menjadi pertanyaan di otak Jingga adalah ... Kenapa hanya anak pertama yang mereka inginkan? Kenapa mereka hanya menginginkan satu anak? Apa menurut mereka anak kedua tak punya arti apa-apa? Atau anak kedua memberikan mereka banyak beban?

Jingga tak punya jawaban atas semua pertanyaan itu, karena kedua orang tuanya selalu menghindar ketika ditanya hal demikian.

"Aww ...." Jingga mengaduh ketika tiba-tiba sebuah benda kecil mengenai kepalanya. Gadis itu mendongak, menatap Senja yang berdiri di atas undakan tangga.

"Cengeng," ejek Senja kemudian kembali melempar sesuatu yang langsung ditangkap oleh Jingga. Ternyata itu adalah sebuah permen.

Jingga menatap Senja bertanya, menghapus jejak air mata di pipinya dan menggosok-gosok hidungnya yang memerah serta sedikit gatal.

Senja Tanpa Jingga (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang