37

10 0 1
                                    

   Malam ini Ayis masih belum bisa tidur. Ia sibuk membaca bait-bait pesan yang dikirimkan Rezvan. Jangan heran jika Rezvan mengirimkan pesan pada Ayis padahal pemuda itu baru saja datang dari rumah Ayis.

   Meskipun respon yang Ayis berikan terkesan cuek, marah, tapi sebenarnya ia senang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   Meskipun respon yang Ayis berikan terkesan cuek, marah, tapi sebenarnya ia senang. Ia pikir Rezvan merasa bersalah dan masih mencoba untuk minta maaf pada Ayis padahal itu hanyalah masalah sepele. Ayis hanya ingin menjaili Rezvan. Beberapa detik kemudian ponsel Ayis berbunyi. Gadis itu melihat layar ponselnya dan mendapati Rezvan yang sedang menelvonnya. Perlahan gadis itu menggeser tombol hijau untuk mengangkat telepon dari kekasihnya.

   "Maafin dong." ucap Rezvan di seberang telepon.

   "Hm." ucap Ayis jutek jika didengar. Namun tidak secara realitanya.

   "Janji deh, nggak akan ngulangi."

   "Hm." ucap Ayis masih sama seperti tadi. Realitanya ia menahan tawa.

   "Nonton deh." bujuk Rezvan

   "Nggak usah." tolak Ayis. Ia masih mempertahankan suara dinginnya. Rasa jailnya masih saja menguasainya.

   "Beli novel yuk!" bujuk Rezvan sekali lagi. Sebuah bujukan yang mampu meruntuhkan benteng pertahanan Ayis untuk tidak berkata ya. Gadis itu menyukai novel. Dan tidak mungkin juga ia menyia-nyiakan novel gratis berkat usahanya. Tapi Ayis hanya diam. Ia masih gengsi untuk membuka suara.

   "Kok diem? Berarti mau. Besok aku jemput jam 4." Rezvan terlalu peka untuk mengetahui jika diamnya Ayis adalah maunya Ayis. Ayis tersenyum. Ia merasa bahagia walau hanya karena hal sepele seperti ini.

   "Iya." jawab Ayis lembut. Sudah cukup ia menjaili Rezvan.

   "Luluh juga akhirnya." sahut Rezvan yang sudah merasa lega karena Benteng es Ayis sudah runtuh.

   "Tau nggak?" tanya Ayis diiringi gelak tawanya. Ayis rasa Rezvan percaya jika ia marah.

   "Apa?"

   "Tadi aku cuma bercanda." ungkap Ayis yang belum bisa menetralkan tawanya.

   "Udah tau." ucap Rezvan dengan nada yang datar. Seketika tawa Ayis berhenti. Ia menyesal karena sudah memberitahu Rezvan jika ia hanya bercanda. Ia malu. Ia tak menyangka jika Rezvan mengetahuinya. Kalau tahu begitu lebih baik ia berlaku dingin saja. Gadis itu hanya diam. Ia merutuki sikap Rezvan yang membuatnya marah. Kali ini tidak bercanda. Biarkan Rezvan yang meminta maaf, memohon-mohon lagi pada Ayis seperti tadi.

   Sejenak tawa Rezvan pecah. Ia puas sudah membuat kekasihnya marah. Rezvan menghentikan tawanya. Ia sadar jika lawan bicaranya hanya diam mendengarkan tawanya. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya. Bermaksud untuk melihat sambungan teleponnya. Masih tersambung.

   "Yis, masih hidup kan?" pertanyaan yang tidak bermutu. Terdengar suara Ayis yang mendengus kesal.

   "Dasar aneh!" umpat Ayis tanpa tawa sedikitpun. Bukannya minta maaf, Rezvan malah tertawa lagi. Tanpa bicara apapun Ayis langsung mematikan sambungan teleponnya.

   Rezvan menjauhkan ponselnya setelah tau jika Ayis memutuskan sambungan. Ia membuka aplikasi chatnya dan mencari nama Ayis yang tentu saja sudah tersemat paling atas. Jari-jarinya mulai mengetikkan sesuatu.

   Berbeda dengan Ayis. Gadis itu terlihat duduk diatas ranjang dan terdiam. Ia menaruh ponselnya diatas nakas. Ia menata bantal dan mulai membaringkan tubuhnya. Ia menarik selimutnya sampai perut. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia meraih ponselnya dan melihat ada satu notif pesan dari Rezvan. Ia membuka aplikasi chatnya dan membaca pesan yang dikirimkan pemuda itu.

   Ia menyunggingkan senyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   Ia menyunggingkan senyum. Mengetik sebuah balasan untuk Rezvan. Setelah dipastikan terkirim, ia menaruh ponselnya kembali dan mulai memejamkan matanya. Menyambut mimpi yang akan menghampirinya.

Sederet LangkahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang