“ ... termasuk golongan pithecanthropus erectus. Dan ...” ucap Ayis mendikte Aldi agar diketik di laptop yang dibawa oleh cowok itu. Kata demi kata sudah tersusun rapi. Sungguh lega, akhirnya tugas sudah hampir selesai. Tinggal mencetaknya dalam bentuk lembaran. Di tengah-tengah proses pengerjaan, Ayis sempat teringat dengan Rezvan. Ia takut jika Rezvan akan salah faham lagi dengan berduanya ia dan Aldi di cafe ini. Ia merapalkan do’a dalam hati agar Rezvan tidak berpikir tentang hal yang memang tidak Ayis lakukan selama ia dan Aldi mengerjakan tugas kelompok. Selama mengerjakan, Ayis tutup mulut perihal pesan yang dikirim Aldi tadi. Ia tidak mempertanyakan hal itu. Murni hanya mengerjakan tugas. Ia berpikir jika pesan Aldi tadi hanya salah penerima. Maksudnya Aldi mengirim pesan itu bukan untuk Ayis. Lagi pula jika memang iya, Aldi akan membicarakannya. Tapi entahlah. Ayis hanya ingin ia tidak terjebak dalam zona yang seperti kemarin. Dimana ia bertengkar dengan Rezvan hanya karena kesalah pahaman. Dan ia juga tidak mau jika seandainya Aldi menaruh perasaan padanya. Ia punya Rezvan. Ia punya hati yang dijaga.
“Gimana kalo gue aja yang nge-print. Lo kan udah ngetik.” tawar Ayis untuk mengambil alih tugas itu. Untung saja Ayis adil dalam mengerjakan tugas kelompok. Ia tidak mengedepankan masalah pribadinya. Karena ia berpikir jika tugas kelompok itu juga merupakan kewajibannya, juga merupakan tanggung jawab yang harus ia penuhi. Selama ini ia berusaha menanamkan sifat tidak enak jika ia tidak ikut serta dalam masalah kebersamaan. Contohnya adalah kerja kelompok ini.
Kadang ia juga rela mengerjakan tugas kelompoknya sendiri jika teman kelompoknya adalah tipikal orang yang malas. Jika ia tetap memaksa orang itu, hasilnya akan tetap sama. Jadi ia berpikir jika lebih baik ia mengerjakan tugas itu sendiri. Daripada harus membuang-buang waktu.
“Nggak usah. Aku aja. Sekalian nanti beli map.” tolak Aldi halus. Lelaki yang terlihat ramah. Peduli dengan lingkungan sekitar dan tidak mau menyusahkan orang lain. Itu yang sekarang Ayis pikirkan mengenai pribadi Aldi. Selama ini memang tidak ada kejanggalan atau apapun itu yang bisa membuat Ayis berpikir buruk tentang Aldi.
“Beneran?” tanya Ayis yang merasa tidak enak jika semua dilakukan Aldi. Semua dikerjakan Aldi.
“Iya, kalau kamu yang nge-print, entar kamu yang capek. Kan kasihan kamunya.” ucap Aldi yang meyakinkan Ayis jika ia yang akan menuntaskan tugas itu. Aldi masih fokus dengan laptopnya. Sedangkan Ayis memalingkan wajahnya. Ia kaget dengan ucapan Aldi yang terkesan sangat perhatian. Dan sejak kapan ia menggunakan aku-kamu. Gadis itu baru menyadari jika Aldi menggunakan panggilan aku-kamu. Padahal sudah dari tadi Aldi memakai panggilan itu. Ayis mulai berpikir. Apakah ucapan Aldi barusan berhubungan dengan pesan yang ia kirimkan tadi? Apakah Aldi memang mempunyai perasaan pada Ayis? Entah. Ayis memilih membuang pikirannya itu. Ia tak mau jika masalah itu semakin membuatnya terus berpikir.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aldi yang sadar dengan diamnya Ayis. Ia sempat melihat Ayis yang melamun sebelum ia membuat lamunan Ayis itu buyar. Lagi-lagi Aldi bertanya pada Ayis dengan nada yang halus. Ayis mulai tidak enak hati. Ia terlalu takut jika ini akan berlanjut lebih jauh lagi.
“Nggak papa kok. Gue pulang dulu.” simpul Ayis akhirnya. Ia harus bisa mengakhiri pembicaraan yang abnormal itu. Ia berdiri dari tempat duduknya. Ia berniat untuk beranjak meninggalkan cafe itu. Tapi tangan Aldi menahannya. Ayis memejamkan matanya. Ia berusaha berpikir positif perihal Aldi yang menahannya. Siapa tahu ada hal penting yang akan ia sampaikan mengenai tugas itu. Ayis membalikkan badannya.
“Aku anterin.” tawar Aldi yang cenderung memaksa. Ayis salah. Ia salah telah berpikir positif perihal Aldi yang menahannya. Aldi memegang tangan Ayis terlalu erat. Seolah-olah ia tidak membutuhkan penolakan. Ayis masih diam. Ia belum merespon Aldi. Ia masih memahami gelagat Aldi yang akhir-akhir ini berubah.
“Nggak usah, gue bisa pulang sendiri.” tolak Ayis sambil menyingkirkan tangan Aldi yang memegang pergelangan tangannya. Bukannya terlepas, Aldi malah mengeratkan tangannya. Ayis gagal menyingkirkan tangan Aldi. Ayis tidak nyaman dengan perlakuan Aldi. Dan ini di tempat umum. Sudah tidak sepantasnya ia melakukan hal seperti ini.
Sudah cukup Ayis malu menjadi pusat perhatian dari sekian banyak orang yang ada di cafe. Ia masih berusaha melepaskan tangannya. Ia menghempaskan tangannya kasar hingga akhirnya tangan Aldi bisa lepas. Ia berhasil. Aldi menatap Ayis dengan mengangkat alisnya sebelah. Seolah-olah ia bertanya.
“Nggak usah.” ucap Ayis penuh penekanan. Ia terlihat lebih sinis dari sebelumnya. Ia tidak suka dengan perlakuan Aldi barusan. Ayi mulai melangkah namun untuk kesekian kalinya Aldi menahan tangannya.
“Ikut.” ucap Aldi pelan tapi menyeramkan. Satu kata yang membuat Ayis mengerti jika Aldi bukanlah sosok yang sama dengan apa yang sebelumnya cowok itu perlihatkan. Dugaan Ayis salah. Ia kira Aldi adalah sosok yang baik. Lalu apakah ini yang dinamakan baik? Ayis memilih diam. Ia tak mau memberontak lagi. Ia memilih untuk menurut. Seketika ia teringat cerita Zhafira dua hari lalu. Sebelumnya ia sempat mengelak hal itu. Ia tetap berpikir positif mengenai Aldi. Namun hari ini ia cukup tahu jika yang dikatakan Zhafira hampir sepenuhnya juga terjadi pada dirinya. Ia tidak mau jika cerita Zhafira terjadi sepenuhnya pada dirinya.
-Flashback on-
“Yis lo harus hati-hati sama Aldi.” pesan Zhafira pada Ayis. Ayis yang terlihat bingung hanya mengerutkan alisnya. Untung saja Zhafira faham dengan kebingungan Ayis.
“Soalnya gue pernah denger cerita. Terserah lo mau percaya atau nggak. Lebih baik ya lo bisa lebih hati-hati.” lanjut Zhafira yang masih menimbulkan teka teki. Ayis makin bingung dibuatnya. Ia memandang Zhafira dengan seksama. Ia akan mendengar cerita Zhafira sedetail-detailnya.
“Pernah suatu hari Aldi jalan sama cewek kelas sebelah yang dulu diberitakan kalau Aldi menyukainya. Waktu itu mereka pergi ke pasar malam. Karena Aldi pengen makan yang pedas-pedas akhirnya ia mengajak cewek itu makan ke tempat yang memang menyediakan makanan pedas. Tapi cewek itu tidak bisa makan pedas. Alhasil makanan yang Aldi pesan untuknya tidak tersentuh sedikitpun. Aldi terlihat emosi. Padahal sebelumnya cewek itu udah bilang kalau ia memang nggak bisa makan pedas.” Cerita Zhafira pada Ayis yang dari tadi cuma manggut-manggut.
“Lalu?” tanya Ayis yang masih penasaran dengan kelanjutan cerita Zhafira.
“Aldi menumpahkan makanan itu tepat di kepala cewek itu. Cewek itu hanya diam. Ia tidak memberontak. Semua orang melihatnya. Kamu tau kan rasanya ada di posisi cewek itu? Pasti malu. Mengingat banyak orang yang melihatnya.” cerita Zhafira hingga membuat Ayis membelalakkan matanya. Sudah pasti malu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan gadis itu.
“Masa iya sih Zhaf? Tapi dia kelihatan baik.” ucap Ayis yang masih tidak yakin dengan cerita Zhafira.
“Terserah kamu aja. Mau percaya atau nggak. Soal ini aku nggak bohong. Emang terjadi. Dan kamu juga nggak boleh percaya dengan apa yang memang belum kamu ketahui. Seperti dugaan kamu tentang Aldi. Banyak kan orang yang memang kelihatan baik tapi sebenarnya busuk?” ucap Zhafira memberi peringatan pada Ayis. Ayis mengangguk mengerti. Namun ia tidak langsung memastikan bahwa Aldi adalah orang yang tidak baik. Ia belum melihatnya secara langsung. Daripada ia buruk sangka.
“Dan satu lagi, kamu udah dewasa, kamu harus bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ok?” tambah Zhafira di akhir ceritanya. Ayi tersenyum dan mengacungkan jempolnya.
-Flashback off-
“Naik!” ucap Aldi yang sudah ada diatas motornya. Ayis masih ragu. Apakah ia harus naik? Atau ia harus kabur? Ia masih bimbang dengan perintah Aldi.
“Nunggu apa lagi sih?! Tinggal naik. Udah selesai.” Ucap Aldi dengan nada tingginya. Ayis tidak bisa menolak itu. Ia tak mau jika malu akan menjadi akhir dari harinya. Yang ia lakukan saat ini hanyalah menurut, menurut, dan menurut.