Seorang gadis terlihat sedang merapikan bukunya. Sudah sejak dua menit yang lalu bel pulang sekolah berbunyi. Banyak dari siswa memilih untuk langsung pulang. Namun sebagian lain masih ada yang tetap di Sekolah dengan kegiatan tertentu.
“Yis, gue duluan ya.” pamit Zhafira-teman sebangku Ayis. Kali ini ia akan pulang sendirian mengingat Ray dan Della dipanggil oleh Bu Melly-guru BK yang terkenal sangat kejam dan paling tega menghukum muridnya seperti yang Bu Windy lakukan kepada anak buahnya. Badan Ayis sangat lemas. Wajahnya tak lagi menampilkan keceriaan yang sering kali ia perlihatkan. Tiada semangat yang terukir dalam jiwanya. Matanya memandang kosong. Memandang segala objek yang bisa dijadikan bahan lamunan. Sungguh, Ayis tidak kosentrasi dengan pelajaran yang telah diajarkan tadi. Mungkin ia akan mempelajarinya sendiri di Rumah. Ayis beranjak dari tempat duduknya ketika kelasnya sudah sepi. Langkah gadis itu terlihat gontai. Terlihat tidak yakin dengan tujuannya.
Ayis menggelengkan kepalanya agar segera tersadar dari lamunan yang telah menyelimutinya dari tadi.
“Aku harus tetap semangat.” batinnya dalam hati menyemangati raganya yang putus atas atas hal yang telah terjadi. Koridor demi koridor ia lewati. Tapi langkahnya mendadak terhenti ketika melihat seorang pemuda yang tengah berdiri di pagar tepat di depan kelas 12. Pemuda itu terlihat melamun. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Sekejap pemuda itu membalikkan badannya. Mata mereka bertemu. Saling mengungkapkan perasaan yang mereka rasakan saat ini. Tatapan kecewa tampak jelas di mata Rezvan. Tatapannya yang tajam dan rahangnya yang mengeras terlihat mengungkapkan besarnya kecewa yang ia rasakan. Sedangkan Ayis melihat Rezvan dengan tatapan bingung.
Kaki Rezvan melangkah mendekati gadis itu. Tapi tatapannya tak juga melembut. Ia menatap Ayis datar. Dalam hati Ayis, ia berharap Rezvan akan menyapanya dan mengantarkannya pulang. Tapi takdir berkata lain. Rezvan tetap melangkahkan kakinya. Melewati gadis itu begitu saja. Gadis yang berharap realitanya akan terjadi. Mata Ayis mulai berair. Mungkin ia sudah tidak tahan dengan apa yang terjadi padanya. Sedangkan Rezvan? Ia tetap melangkahkan kakinya. Ia tak peduli dengan Ayis yang sekarang sudah meneteskan air mata. Gadis itu membalikkan badannya. Ia melihat Rezvan yang pergi menjauh. Tanpa pikir panjang, Ayis langsung melangkahkan kakinya menghampiri Rezvan.
Gadis itu langsung menggenggam erat pergelangan tangan Rezvan. Berharap Rezvan akan menghentikan langkahnya dan mau memaafkan kesalahan Ayis. Walaupun gadis itu belum mengetahui dengan pasti kesalahannya yang bisa membuat Rezvan berlaku seperti ini. Rezvan menghentakkan tangannya dengan keras tanpa membalikkan badan hanya untuk melihat Ayis yang saat ini ada tepat di belakangnya. Hati Ayis semakin terluka karena mendapat perlakuan kasar dari Rezvan.
“Maaf.” ucap Ayis sangat pelan. Hampir seperti bisikan. Rezvan tidak mengindahkan permintaan maaf dari Ayis. Ia malah meneruskan langkahnya. Tak peduli dengan Ayis yang terluka.
Menyerah bukan kata yang cocok untuk Ayis saat ini. Ia berlari mengejar Rezvan yang menjauh. Tanpa basa-basi gadis itu langsung memeluk Rezvan dari belakang. Tanpa permisi, tanpa izin, dan tanpa aba-aba. Rezvan tidak juga membalikkan badannya. Ia masih diam tapi tidak membalas pelukan dari Ayis yang tiba-tiba itu.
“Tolong jelaskan apa yang membuat kamu bersikap seperti ini padaku,” ucap Ayis dalam tangisnya. Ia sudah tidak tahan dengan perlakuan Rezvan yang tidak seperti biasanya. Tapi Rezvan masih tetap diam.
“Kalo gini caranya, aku nggak bakal tahu salahku itu apa! Aku tahu kamu kecewa, kamu marah, tapi apa alasannya?” ucap Ayis lagi dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. Gadis itu belum menyerah untuk mendapatkan penjelasan dari Rezvan. Ia masih memeluk Rezvan yang tetap diam tak bergerak. Tangis Ayis semakin pecah mendapati perlakuan Rezvan seperti ini. Tangan Rezvan terangkat. Pemuda itu memegang tangan Ayis tapi bukan untuk menggenggamnya. Ia menyingkirkan tangan Ayis yang melingkar di perutnya. Ia kembali melangkahkan kakinya tanpa memikirkan gadis yang tadi memeluknya.
“Rezvan! Berhenti!” ucap Ayis sambil berlari dan menahan tangan Rezvan agar ia tidak melangkahkan kakinya lagi. Rezvan memejamkan matanya mendengar suara Ayis yang bergetar.
“Kamu kenapa sih?” ucap Ayis lagi. Sejak tadi yang berbicara hanyalah Ayis. Ia berusaha menormalkan keadaan tapi Rezvan belum juga menghiraukannya. Hingga akhirnya cowok itu membalikkan badannya dan menghentakkan tangannya keras. Agar tangan Ayis bisa terlepas dari tangannya. Rahangnya mengeras. Tatapannya tajam dan dinginnya terlihat mengungkapkan semua kekecewaan yang saat ini ia rasakan.
“Seharusnya aku yang tanya. Kamu yang kenapa?!” ucap Rezvan pada Ayis yang kini menunduk. Ia sangat takut dengan ucapan Rezvan yang terdengar mencekam dan penuh penekanan. Rezvan melangkahkan kakinya untuk mendekati Ayis. Tapi Ayis terlalu takut untuk tetap diam dan membiarkan Rezvan mendekat. Gadis itu berjalan mundur seiring langkah Rezvan yang semakin mendekat.
Ayis sudah tidak bisa bergerak. Tubuhnya sudah menabrak tembok. Tangan Rezvan terangkat. Pemuda itu mengepalkan tangannya. Ia hendak memukul Ayis. Namun Rezvan tidak setega itu. Ia mendaratkan pukulannya di tembok. Tepat di samping kepala Ayis. Sedangkan gadis itu hanya diam dan memejamkan matanya. Ia sangat ketakutan. Kaki Rezvan menendang tembok dengan sekuat tenaganya. Disusul dengan pukulan yang kembali ia daratkan pada tembok.
“Kemarin yang bocengan sama Aldi itu kamu kan?!” tanya Rezvan dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ia sungguh emosi. Ayis diam. Ia ingin menjelaskan semuanya pada Rezvan tapi lidahnya kelu. Ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Tubuh Rezvan bergetar. Emosinya sudah mencapai titik batas. Ayis masih diam hingga membuat Rezvan lebih murka lagi.
“Jawab!” ucap Rezvan sambil memukul tembok yang ada disamping Ayis lagi dan lagi. Sudah berapa kali ia menyakiti dirinya sendiri dengan memukul dan menendang tembok yang tidak bersalah itu. Ayis semakin menunduk. Ia tidak berani melihat Rezvan dengan segala amarahnya. Perlahan butiran bening meluruh begitu saja dari kelopak mata Ayis. Gadis itu menutup wajahnya yang sudah basah karena air mata. Tangannya terlihat bergetar. Begitupun tubuhnya.
Rezvan memalingkan wajahnya. Ia merasa bersalah telah bersikap kasar pada kekasihnya itu. Rezvan memejamkan matanya. Merutuki dirinya sendiri. Masalah ini bisa dibicarakan baik-baik. Tapi apa yang dilakukannya? Ia malah menyakiti hati gadis yang sekarang sesenggukan itu. Sekejap tubuh Ayis terasa hangat. Ya, Rezvan memeluknya. Cowok itu terlalu lemah melihat gadis yang disayanginya itu menangis. Tangan Ayis masih menutup wajahnya. Perlahan tangan Rezvan bergerak. Ia mengusap lembut rambut Ayis yang terurai lurus. Ayis masih terisak. Rezvan masih memeluknya. Rezvan merasakan kalau tubuh gadis cantik itu bergetar. Rezvan semakin menyesali perbuatannya tadi.
“Maafkan aku sayang, maaf. Karena aku, kamu jadi menangis. Aku memang lelaki yang bodoh, lelaki yang tega membuat kekasihnya sendiri menangis. Sekali lagi maaf. Aku akan menunggumu untuk menjelaskan apa yang terjadi sampai kau benar-benar mau menjelaskannya. Kapanpun itu. Aku tahu kamu. Aku tahu banyak tentangmu. Aku percaya, kamu pasti tidak akan melakukan hal seperti itu. Aku tahu, pasti ada sesuatu yang membuatmu melakukan hal seperti itu. Tapi maaf, aku tadi benar-benar emosi. Aku tak mau jika orang yang kusayang diambil orang lain. Maaf telah berlaku kasar padamu. Aku sangat menyayangimu.” ucap Rezvan panjang lebar. Ia merasa sangat bersalah dengan perbuatannya. Ia tidak bisa menjaga kekasihnya sendiri. Bahkan ia tega membuat kekasihnya menangis. Ia mencium puncak kepala Ayis. Emosi yang membuatnya seperti ini.
Perlahan Ayis menurunkan tangannya. Ia melingkarkan tangannya ke leher kekasihnya itu. Rezvan semakin mengeratkan pelukannya. Ia merasa sedikit lega. Setidaknya Ayis masih bisa memaafkannya dan menerimanya lagi untuk mengisi sebagian hidupnya.