Seorang gadis duduk termenung diatas ayunan yang ada di samping kolam. Dipadu dengan suasana yang hening dan tenang, membuatnya lebih fokus dengan apa yang sedang ia pikirkan. Ia sedikit kecewa dengan Rezvan. Pemuda itu tak menjenguknya sama sekali. Bahkan memberi kabar padanya pun tidak. Ayis memegang dahinya yang masih terasa sedikit sakit.
“Lo nggak ada ketika gue sakit kek gini. Justru kak Faresta yang selalu ada buat gue. Padahal kak Faresta bukan bagian dari hidup gue.” gumam Ayis pelan. Matanya memandang getir air kolam. Seakan-akan Rezvan hadir disana. Jujur saja. Ayis kecewa dengan kelakuan Rezvan hari ini. Kelakuan yang sama sekali tidak diharapkannya. Rezvan tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ia tega membiarkan Ayis melewati hari yang cukup menyakitkan ini sendiri.
“Bahkan sejak tadi lo nggak ngabarin gue sama sekali Van.” gumamnya lagi sambil tersenyum getir tanpa mengalihkan pandangannya dari kolam. Ayis memang belum mengetahui dengan pasti alasan Rezvan berlaku seperti itu. Ia hanya berasumsi jika Rezvan sudah tidak mempunyai perasaan yang sama.
🌸🌸🌸
Rezvan menatap wajahnya di cermin. Seharian ia memikirkan kekasihnya itu. Ia sengaja tidak mengaktifkan ponselnya. Bukan bermaksud untuk tidak memberi kabar Ayis atau bagaimana. Ia hanya ingin menenangkan pikiran. Ia perlu berpikir jernih. Sebenarnya ia sangat ingin tukar kabar dengan Ayis. Tapi ia takut jika nanti ia akan emosi dan berakhir dengan bersikap kasar pada Ayis. Rezvan memakai jam tangan yang sebelumnya tergeletak diatas meja belajar. Semerbak Wangi tercium setelah pemuda itu menyemprotkan minyak wangi di tubuhnya. Minyak Wangi yang sudah menjadi aroma khasnya. Rezvan berjalan menuju nakas dan mengambil kunci mobil yang biasa ia pakai. Rezvan mulai melangkahkan kakinya keluar kamar. Mengeluarkan mobil dari garasi lalu beranjak pergi.
🌸🌸🌸
Suara bel rumah Ayis terdengar nyaring. Acha yang bermain PS lantas membuka pintu. Seorang pemuda berdiri di depan pintu dengan membawa sebuah paper bag cantik. Rezvan tersenyum ramah pada Acha.
“Masuk Van. Cari Ayis kan?” tanya Acha langsung ke intinya. Acha terlalu peka tentang hal ini. Sebenarnya ia juga merasa aneh dengan perubahan sikap Ayis yang terlihat murung. Ia tidak bertanya kenapa. Sebagian pikirannya berasumsi jika penyebab sikap Ayis yang berbeda adalah Rezvan. Rezvan mengangguk membenarkan ucapan Acha yang memang sangat betul sekali.
“Ayis ada di rumah kan Bang?” tanya Rezvan. Mereka berjalan masuk ke ruang tamu.
“Ada. Bentar gue panggilin. Lo duduk di shofa aja dulu.” ucap Acha lalu meninggalkan Rezvan di ruang tamu. Acha melangkahkan kakinya menuju kolam yang ada di samping rumah. Ia melihat Ayis yang duduk diatas ayunan. Pandangannya terlihat kosong. Raut wajahnya terlihat sedih. Acha tersenyum getir sebelum ia mendekat ke tempat Ayis.
“Dek.”
“Apa bang?” jawab Ayis. Ia langsung menetralkan wajahnya. Ia tak mau jika Acha melihat kesedihannya. Padahal Acha sudah tahu. Ia saja yang asyik dengan pikirannya sehingga tak menyadari jika Acha sudah mengamati raut wajahnya yang terlihat sedih.
“Di tunggu Rezvan di depan.” ucap Acha to the point. Ayis terperanjat dengan ucapan Acha. Seseorang yang baru saja ia pikirkan sekarang ada di rumahnya. Seseorang yang baru saja ia duga jika sudah tidak peduli lagi dengannya kini datang menemuinya. Ia pikir hubungannya akan segera berakhir. Tapi malam ini ia yakin. Semuanya bisa diperbaiki. Semuanya bisa membaik dan semuanya akan tetap bertahan.
“Rezvan?” tanya Ayis mengulangi ucapan Acha. Ia masih setengah percaya dengan fakta ini. Acha mengangguk.
“Iya. Emang nggak ngabarin lu?” tanya Acha. Ayis menggeleng. Membuat Acha lebih yakin lagi jika mereka dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Acha yakin ada kesalah fahaman lagi yang terjadi diantara mereka.
“Yaudah. Sana gih temuin. Pasti rindu.” ucap Acha memerintah. Ia tersenyum menggoda. Ayis memukul bahu abangnya itu sebelum ia beranjak pergi menemui Rezvan.