Suara ketukan pintu terdengar. Seorang gadis beranjak dari ranjangnya. Melangkahkan kakinya menuju pintu untuk membukanya. Pintu terbuka dan terlihat seorang pria yang membawa nampan. Sudah sejak pulang sekolah tadi gadis itu mengurung dirinya di Kamar tanpa ada niatan untuk keluar dari kamar bahkan hanya sekedar untuk mengisi perutnya. Bayangan masa lalu kembali hadir sejak myesha memperlakukannya seperti tadi pagi. Ia takut hal yang sama akan terjadi lagi. Gadis itu berjalan menuju ranjangnya dan kembali duduk diatas kasurnya. Pria itu mengekor di belakang Ayis. Mengikuti setiap langkahnya. Pria itu menaruh nampan yang berisi sepiring nasi serta lauknya dan juga segelas air putih yang terletak disamping piring. Pria itu duduk di tepi ranjang Ayis.
"Dek, makan gih." suruh Acha pada adiknya. Mata gadis itu menatap lurus kedepan dan terlihat kosong. Seperti sudah tidak ada aura kehidupan yang terpancar.
"Gue masih kenyang bang." ucap Ayis dengan segala alibinya. Gadis itu mengubah posisinya menjadi bersandar pada kepala ranjang.
"Kenyang dari mana? Lo tuh belum makan dari tadi. Kalo lo sakit gimana?" ucap Acha yang tidak percaya dengan ucapan Ayis barusan. Acha tau jika adeknya ini belum makan sejak tadi di Sekolah. Terakhir Ayis makan saat sarapan tadi pagi. Itupun hanya sepotong roti tanpa meminum segelas susu yang sudah di sediakan untuk sarapan. Ayis hanya diam tanpa menjawab ucapan Acha.
"Dek, lo kenapa? Ada masalah? Cerita sama Abang." ucap Acha lagi dan menyentuh tangan Ayis lalu menggenggamnya. Memberikan kekuatan pada Ayis. Memberitahu Ayis bahwa Acha ada disampingnya dan akan selalu ada untuknya. Ayis tampak berpikir. Tak ada salahnya juga jika ia bercerita pada abangnya. Siapa tahu abangnya bisa menenangkannya.
"Iya, gue cerita. Tapi nanti nampannya abang bawa keluar lagi ya. Ayis nggak mau makan." ucap Ayis pada abangnya. Ia masih bersikukuh untuk tidak mengisi perutnya. Entah itu karena malas ataukah tidak ada selera.
"Lo beneran nggak laper?" tanya Acha memastikan. Ayis menggeleng. Ia tudak nafsu untuk mengisi perutnya. Moodnya sedang berantakan.
"Yaudah, apa masalah lo?" tanya Acha untuk menagih janji Ayis yang akan bercerita.
"Gue takut bang." ucap Ayis mengawali ceritanya.
"Takut?" tanya Acha yang masih tidak faham dengan alur cerita yang sedang Ayis bicarakan.
"Ayis takut kalo kejadian yang lalu akan terulang lagi." lanjut Ayis.
"Kejadian yang mana maksud lo?" tanya Acha lagi. Ia belum mengerti apa yang sedang Ayis takutkan.
"Tentang Izza." ucap Ayis singkat tapi bisa membuat Acha paham. Gadis itu menunduk. Matanya berkaca-kaca. Ia masih berusaha untuk menahan tangisnya. Tapi ia gagal. Air mata itu perlahan jatuh begitu saja. Acha yang menyadari jika adeknya menangis langsung mendekat dan membawa Ayis ke dalam pelukannya. Gadis itu terisak dalam pelukannya.
"Udah, jangan nangis, abang akan berusaha untuk jagain lo. Gimanapun juga lo adek gue. Jadi udah tugas gue buat jagain lo." ucap Acha menenangkan Ayis yang masih sesenggukan. Inilah salah satu sisi Acha yang sangat disukai Ayis. Acha mampu menenangkan Ayis yang rapuh. Acha yang mampu menghilangkan kekhawatiran yang sedang Ayis rasakan. Dan Acha yang mampu membangkitkan kembali semangat Ayis yang sempat hilang karena masa lalu. Acha mengelus lembut rambut adeknya. Kasih sayangnya pada Ayis terlihat melalui perlakuannya. Tangis Ayis mulai mereda. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya dari pelukan Acha.
"Makasih bang." ucap Ayis pada abangnya yang sudah menenangkannya. Ia sangat bersyukur mempunya abang seperti Acha.
"Emangnya ada yang nge-bully lo lagi ya?" tanya Acha. Ayis terkejut tapi ia berusaha untuk menetralkan dirinya kembali dari rasa keterkejutan itu. Ayis tidak mau jika ia memberitahu hal ini Acha akan dalam bahaya.
"Nggak kok bang. Nggak ada. Ayis cuma keinget masa lalu. Dan tiba-tiba perasaan takut itu muncul." jawab Ayis yang tentu saja itu semua tidak benar. Ia tidak bermaksud membohongi Acha. Hajya saja ia ingin Acha tidak lagi mengkhawatirkannya. Acha hanya mengangguk dan tidak meminta kejujuran Ayis. Acha tau jika Ayis berbohong. Dan Acha tau jika adeknya itu dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Ia sangat faham dengan Ayis. Dan besok ia akan mencari tau siapa yang mengganggu Ayis hingga membuat Adeknya itu ketakutan. Bahkan karena itu juga Ayis tidak mau menyentuh nasi.
"Dek, lo lagi deket sama Rezvan ya?" tanya Acha mengalihkan pembicaraan dan mencoba menghibur Ayis dengan membahas sosok yang ia sayangi. Sebenarnya Acha sudah tau jika Ayis menaruh hati pada temannya itu. Tapi ia lebih memilih diam dan tidak membahas Rezvan di depan Ayis. Tapi kali ini Acha mulai membahasnya. Mungkin Ayis bisa terhibur dengan pembicaraan ini. Pipi Ayis merona merah. Membuat Acha makin yakin jika adeknya itu menyukai Rezvan.
"Eng-enggak kok bang." jawab Ayis terbata dan hal itu semakin memperjelas jika Ayis memang menyukai sosok Rezvan.
"Jujur aja sama abang. Abang nggak akan marah kok." ucap Acha yang mengerti dengan kekhawatiran Ayis. Karena notabene Rezvan yang brandal.
"Em, iya bang." ucap Ayis. Jujur.
"Jangan-jangan lo suka ya sama dia?" goda Acha pada Ayis. Walaupun ia tau jawabannya adalah iya. Ayis hanya tersenyum mendengar ucapan Rezvan.
"Ternyata lo bis jatuh cinta juga ya." ucap Acha lagi. Cowok itu tertawa terbahak-bahak. Kalimatnya terdengar mengejek. Acha mengira bahwa adeknya nggak akan menyukai cowok, mengingat Ayis adalah tipikal cewek yang rada tomboy. Tawa Acha semakin keras setelah melihat wajah Ayis yang semakin cemberut.
"Oh iya. Tadi pagi Rezvan nanya alamat rumah dan ia bilang ada kaitannya sama lo. Mau diajak jalan ya sama dia?" cerita Acha sekaligus bertanya tentang penyebab Rezvan bertanya tentang alamat rumahnya. Sebenarnya Rezvan sudah tau mengingat Acha adalah teman sekelasnya. Tapi Rezvan hanya memastikan jika alamat itu benar.
"Nggak bang. Cuma mau jemput Ayis berangkat sekolah besok." ucap Ayis jujur. Acha mengangguk mengerti. Ia tidak melarang Ayis dekat dengan Rezvan bahkan ia juga tidak melarang jika mereka berdua pacaran. Tapi Acha tidak akan tinggal diam dan tidak segan-segan memberi Rezvan pelajaran jika suatu saat Ayis menangis karena ulah Rezvan.