7

44 4 0
                                    

   "Ma, Ayis berangkat dulu ya." ucap Ayis sambil berdiri dari meja makan setelah menghabiskan roti dan segelas susu pagi ini. Ia berjalan menuju mamanya dan mencium tangannya. Pagi ini Ayis akan berangkat ke Sekolah seperti biasanya.

   "Kamu pergi sama siapa nak?" tanya Bu Lia. Mungkin ia sedikit khawatir jika Ayis harus beragkat ke Sekolah sendirian. Mengingat kondisi jalan raya sekarang cukup berbahaya.

   "Sama bang Acha Ma." jawab Ayis. Memang sudah menjadi kebiasaan ia berangkat bersama abangnya itu. Begitu akurnya mereka. Tak seperti kebanyakan kakak adik lainnya.

   "Oh yaudah, kalian berangkat gih, nanti telat lagi." ucap Bu Lia kepada kedua kakak beradik itu. Ia merasa lega karena Ayis berangkat bersama abangnya. Setidaknya ada seseorang yang mampu menjaga putrinya itu. Acha berjalan menghampiri mamanya dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh adeknya.

   "Adeknya dijaga." pesan Bu Lia pada Acha. Mengingat umur Acha lebih tua daripada Ayis. Pantas jika cowok itu mendapat amanah untuk menjaga Ayis.

   "Iya Ma." ucap Acha. Ia juga sadar itu sudah menjadi kewajiban dari seorang kakak untuk menjaga adeknya agar tidak terluka. Bahkan ia tak akan tinggal diam jika ada yang membuat adeknya itu menangis. Karena ia tahu, menangis bukanlah cara Ayis untuk meyelesaikan masalah. Bahkan adeknya itu terbilang jarang menangis karena tipikalnya yang rada-rada tomboy membuat ia yakin dalam menghadapi segala sesuatu pasti akan terselesaikan tanpa mengeluarkan air mata. Ayis pikir, dengan menangis ia akan terlihat lebih lemah. Tapi ia baru akan menangis jika sesuatu yang dihadapinya cukup berat. Adu fisik juga tidak menjadi alasan Ayis untuk takut dan mundur begitu saja. Malah, ia lebih suka hal-hal yang lebih ekstrem daripada main mulut seperti cewek-cewek pada umumnya.

    Acha berjalan menuju ruang keluarga. Disana sudah ada seorang pria yang sedang duduk ditemani dengan televisi yang menyiarkan berita pada pagi ini. Seorang pria yang menjadi kepala keluarga di rumah ini. Yang sudah bersedia menjadi Ayah yang baik bagi Ayis dan Acha sekaligus menjadi suami Bu Lia. Pak Rio, lebih lengkapnya Arion chalondra. Ia termasuk pengusaha besar di kota ini. Seperti yang sudah-sudah. Ia mengelola perusahaannya sendiri.

   "Kita berangkat dulu Pa." pamit Acha pada pria itu dan mencium tangannya seperti yang sudah ia lakukan pada Bu Lia barusan. Ayis menyusul Acha dan melakukan hal yang sama.

   "Hati-hati nak." ucap Pak Rio kepada kedua anaknya yang sudah berjalan keluar. Semua orang tua sama, ingin anaknya selamat sampai tujuan. Bahkan sebagian dari orang tua tidak membolehkan anaknya untuk keluar. Sebenarnya mereka tidak bermaksud mengekang, tapi mereka terlalu takut jika anaknya terluka. Dan sebagian anak bisa mengerti tapi kebanyakan anak meganggap hal itu sebagai kekangan, ia hanya ingin semua keinginannya bisa terpenuhi meskipun itu berdampak tidak baik bagi dirinya sendiri. Usia yang belum dewasa membuatnya menganggap semua larangan orang tua adalah kekangan, hingga ia mendahulukan ego daripada sesuatu yang akan berbahaya bagi dirinya sendiri.

   "Iya Pa." jawab Ayis dan Acha bersamaan. Mereka sedikit berteriak karena jaraknya yang sudah cukup jauh. Mereka berdua memasuki mobil. Mobil jeep kebanggaan Acha. Berangkat bersama tidak menjadikan mereka malu untuk mengakui sebagai saudara. Bahkan mereka sering pergi jalan-jalan bersama, hingga mereka tidak terlihat seperti kakak beradik melainkan layaknya sepasang kekasih, mengingat mereka hanya beda satu tahun. Sekolah yang mereka tempati juga sama hanya saja Acha ada di kelas 12, sedangkan Ayis ada di kelas 11.

   "Siap?!" ucap Ayis dengan penuh semangat. Mungkin hari ini ia terlalu bahagia dan hal itu membuatnya semangat untuk megahadapi segala sesuatu yang akan terjadi pada hari ini.

   "Siap!" jawab Ayis tak kalah semangatnya dengan Acha. Mungkin juga sama, Ayis terlalu bahagia hingga semangatnya melebihi semagat abangnya.

   "Let's go." ucap Acha dan menginjak pedal gas. Mereka meluncur menuju tempat yang akan mengajarkan kepada mereka beberapa ilmu yang ada di dunia. Dan disitulah juga mereka akan menemukan sosok yang akan mendampingi hidup mereka.

Sederet LangkahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang