Seorang cowok terlihat duduk santai di warung kopi yang berseberangan dengan Cafe Skill. Ia datang bersama ketiga sahabatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tapi mereka tak juga beranjak pulang. Padahal mereka sudah stay disini sejak tiga jam yang lalu. Tiga jam itu sudah lama. Tapi mereka masih belum ingin meninggalkan tempat itu.
“Tembaakk, tembaakk!” suara keras itu berasal dari mulut Andhra yang terlihat antusias memainkan sebuah game online. Ia sedang bermain bersama Elvano yang ada di sampingnya. Mereka memilih tempat ini bukan karena tersedianya wifi. Di rumah mereka juga terdapat wifi. Tapi mereka lebih suka menggunakan tempat ini untuk bermain game. Entah apa itu alasannya.
“Buk, kopinya satu lagi.” pesan Randi pada ibu-ibu pemilik warung itu. Ia memang penyuka kopi yang akut. Sebelumnya ia sudah memesan 4 cangkir kopi dan pesanan ini adalah pesanan yang kelima. Memang ia sudah keterlaluan. Tapi mungkin pesanan itu adalah pesanan yang terakhir, karena ia juga tahu ia harus membatasi keinginannya untuk minum kopi.
Randi juga termasuk anak yang berandal. Tapi ia berbeda dengan yang lainnya. Ia mudah khawatir atas sesuatu yang terjadi. Dan satu lagi yang membuat ia berbeda dari yang lain. Ia suka membaca buku. Apapun itu. Seperti novel, komik, dll. Sekarang ia sedang fokus dengan sebuah cerita yang ada di gadgetnya. Ia memang memahami, menghayati, dan mendalami semua buku yang ia baca. Tapi ia tak pernah menangis jika alur yang dibawa oleh cerita itu menyedihkan. Tidak seperti orang-orang pada umumnya. Mungkin ia hanya terharu tanpa meneteskan air mata. Cukup dengan diam saja.
Berbeda dengan Rezvan. Ia hanya menatap jalanan dengan tatapan yang kosong. Tanpa menyibukkan diri untuk melakukan sesuatu. Ia hanya diam termenung memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Ia melihat seorang gadis keluar dari Cafe Skill dengan seorang cowok. Rezvan mengerutkan alisnya. Sepertinya ia mengenal gadis itu. Tapi siapa? Masih samar. Rezvan masih menatap kedua orang itu. Perlahan mereka menaiki sebuah motor ninja dan pergi meninggalkan cafe itu. Rezvan bergegas mengambil kunci motornya. Kali ini Rezvan memakai motor. Memang seperti itu. Jika ia pergi ke warung ini, ia lebih sering memakai motornya daripada mobilnya. Ia meletakkan selembar uang kertas di bawah cangkirnya dan meninggalkan warung itu begitu saja.
Tanpa pamit, Rezvan langsung menaiki motornya dan melesat pergi begitu saja. Ketiga sahabatnya hanya bisa melongo melihat tingkah Rezvan yang tiba-tiba itu. Mereka baru saja akan bertanya pada Rezvan apakah yang sebenarnya terjadi tapi Rezvan sudah hilang meninggalkan warung itu.
Rezvan melajukan motornya lebih kencang agar ia tidak kehilangan jejak motor yang ia incar tadi. Dan untung saja motor itu tidak terlalu kencang. Jadi Rezvan masih bisa mengikuti motor itu. Ia mengenal jalan yang dilewati ini. Ia mengingat betul. Tapi apakah benar tempat yang dituju oleh motor itu sama dengan tempat yang saat ini sedang Rezvan pikirkan?
Satu persatu rumah sudah dilewati. Rezvan mulai khawatir jika tempat yang ia pikir sama dengan tempat yang dituju motor itu. Tapi mungkinkah seseorang yang Rezvan maksud berani melakukan hal seperti ini? Dada Rezvan mulai sesak. Ia menatap nanar sesuatu yang terjadi di depannya. Rasa kecewa mulai menyeruak dalam hatinya. Sedetik kemudian ia memutar balikkan motornya dan menjalankannya sekencang mungkin. Ia hancur. Sangat hancur. Ia sedang tidak bermimpi. Sudah cukup ia mengetahui hal ini. Tidak perlu diperjelas lagi. Baru saja hatinya pulih dari kekecewaan. Dan sekarang? Kecewa itu ia rasakan kembali. Semoga saja semuanya bisa kembali utuh seperti dulu.