23

9 2 0
                                    

   Suara bel berbunyi memekakkan telinga. Tapi justru bel itulah yang ditunggu-tunggu oleh para siswa. Bel yang menandakan aktivitas sekolah telah selesai dan semua siswa diperbolehkan untuk pulang. Kecuali jika ada ekstra atau apapun yang merupakan kegiatan dari pihak sekolah. Ayis keluar kelas dan berjalan menyusuri koridor-koridor kelas yang menghubungkan ke parkiran bersama ketiga sahabatnya. Tapi sebuah suara menghentikan langkahnya.

   “Ayis!” panggil seseorang dari belakang. Seorang  cowok berjalan kearah Ayis. Gadis yang dipanggil itu menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang sudah memanggilnya.

   “Aldi?” ucap Ayis menyebut nama orang yang memanggilnya setelah ia tau siapa dia. Tapi nada Ayis sedikit bertanya. Takut jika tebakannya salah. Mengingat ia jarang sekali mengobrol dengan Aldi. Ia hanya memastikan. Memang mereka sekelas tetapi Ayis terlalu cuek dengan keadaan sekitar. Jadi Ayis tidak terlalu mengenal orang lain kecuali sahabatnya. Lagipula dia juga baru naik kelas 11 dan baru kali ini ia sekelas dengan Aldi. Pada waktu kelas 10 mereka di kelas yang berbeda. Jadi wajar jika Ayis belum mengenal Aldi sepenuhnya. Sebelumnya, mereka juga tidak pernah mengobrol. Ayis tidak mengenal Aldi begitupun sebaliknya. Tapi mungkin Aldi pernah mendengar nama Ayis di kelas 10 karena Ayis cukup populer di Sekolahnya. Jadi tak heran jika satu sekolah lumayan mengenalnya. Tapi Ayis hanya bersikap bodo amat. Seolah-olah siswa lain tidak nyata kehadirannya. Gadis itu juga tidak mempunyai keinginan untuk mengenal anak kelas lain. Baginya itu hanya membuang-buang waktu saja.

   “Em, soal tugas tadi gimana?” tanya Aldi to the point. Ia bingung harus mengawali pembicaraan itu dengan kata apa. Cowok itu terlihat canggung ketika berbicara dengan Ayis. Mungkin karena faktor ketidak pernahannya dalam mengobrol dengan gadis yang ada di depannya saat ini. Ia sadar jika ia bukanlah anak yang rajin. Tapi ia berpikir jika ia harus menyeimbangkan dirinya dengan Ayis. Karena ia tahu jika Ayis adalah tipikal cewek yang rajin. Ia mengetahui hal itu karena sekarang Ayis sekelas dengannya dan tak lupa juga karena kepopuleran gadis itu.

   “Yis kita duluan ya.” pamit Ray pada Ayis. Sebelumnya mereka memang sudah memberitahu Ayis jika mereka mempunyai urusan masing-masing setelah sekolah. Jadi mereka tidak bisa menunggu Ayis lebih lama. Lagi pula Ayis juga bisa pulang sendiri meskipun sebenarnya abangnya tidak mengizinkan Ayis untuk melakukan hal itu. Acha hanya khawatir jika Ayis kenapa-napa. Acha terlalu menyayangi Ayis. Ayis mengangguk menjawab ucapan Ray dan melambaikan tangannya pada ketiga sahabatnya itu yang perlahan-lahan mulai menjauh meninggalkan Ayis. Kini Ayis hanya berdua dengan Aldi.

   “Kita ngerjain tugasnya di cafe skill aja besok malam. Gimana?” simpul Ayis mengenai tugas kelompok yang sempat ditanyakan oleh Aldi tadi.  Aldi mengangguk menyetujui usul yang Ayis kemukakan. Lalu mereka berjalan menuju parkiran. Sesekali Ayis terlihat tertawa karena ulah Aldi. Walau baru kenal, ternyata Aldi tidak secanggung yang Ayis bayangkan. Mereka terlihat seperti tak mempunyai beban. Tertawa dan bercanda bersama seiring langkah mereka. Di sisi lain ada seorang cowok yang berdiri menatap mereka dengan tatapan nanar. Dia Rezvan, seseorang yang baru beberapa hari kemarin menjadi kekasih Ayis. Dan sekarang ia merasakan kecewa. Ia sangat tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Entah dengan kata apa nanti Ayis bisa meluluhkan hati Rezvan untuk kembali percaya dan meneruskan hubungan yang telah mereka jalani saat ini.  Karena hubungan tanpa kepercayaan itu sulit untuk dipertahankan. Sebab, kepercayaan adalah dasar dari kuatnya sebuah hubungan.

Sederet LangkahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang