Langkah Ayis terlihat santai melewati koridor-koridor kelas. Ia akan pergi ke Kantin menyusul teman-temannya yang sudah pergi ke Kantin terlebih dahulu. Ia telat karena tadi pergi ke Toilet dulu. Ia terus berjalan hingga akhirnya ia telah sampai di bibir kantin. Ia mengedarkan pandangannya ke semua sudut kantin. Deg!! Ia melihat seorang cowok yang sedang berjalan ke arahnya. Seorang cowok yang sudah tak asing lagi baginya. Bibirnya melengkung mengukir senyum seiring ia menatap cowok itu. Cowok yang berhasil mengisi hatinya. Ya, dia adalah Rezvan. Cowok itu tengah berjalan santai. Dalam hati kecil Ayis, ia berharap Rezvan akan menyapanya dan menawarkan diri untuk menghabiskan waktu istirahatnya di kantin bersama Ayis. Langkah kaki Rezvan semakin mendekat. Tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia melewati Ayis begitu saja. Tetap berjalan tanpa mengenal kata henti. Rezvan menganggap Ayis seperti angin yang lalu. Perlahan senyum Ayis memudar. Ia kecewa. Apakah Rezvan tidak melihatnya? Ataukah dia memang sengaja? Gadis itu terlihat bingung. Secara nyata Ayis berdiri di situ. Pasti Rezvan melihatnya. Tidak mungkin jika cowok itu tidak melihat kehadiran Ayis. Ayis melangkahkan kakinya lemas menuju meja teman-temannya. Ia terlihat sedang berpikir. Berpikir tentang kekasihnya yang berubah. Ia tidak mengetahui apa yang membuat pemuda itu berubah.
“Yis, kenapa lo?” tanya Zhafira yang faham dengan keadaan Ayis. Ia tahu jika Ayis dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Pandangan Ayis kosong. Ia belum merespon ucapan Zhafira. Rasa takut mulai menyelimuti diri Ayis. Ia takut jika akhirnya ia harus kehilangan Rezvan.
“Enggak kok.” jawab Ayis setelah sadar dari lamunannya. Ia menggelengkan kepala sebagai penguat bahwa ia baik-baik saja. Lebih tepatnya ia berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja. Ayis tersenyum tipis. Senyum yang berusaha ia perlihatkan untuk menutupi keadaannya saat ini.
Sekarang ia belum ingin membahas masalah yang baru saja terjadi. Ia masih belum siap. Ia juga merasa tidak enak hati jika ia terus bercerita tentang perasaannya kepada sahabatnya. Mereka terlalu baik untuk dilibatkan dalam masalah percintaan Ayis. Lagipula dia yang memulai hubungan itu, jadi ia juga harus bisa menerima konsekuensi dari keputusannya itu.
“Cerita aja Yis. Gue tahu lo ada apa-apa.” ucap Ray yang memaksa Ayis untuk bercerita. Ia berpikir jika dengan bercerita, masalah yang seseorang hadapi akan terasa lebih ringan. Kalaupun ia bisa membantu ia tak akan segan-segan membantu. Ayis tersenyum tipis dan menggeleng pelan.
“Nggak usah, gue akan nyelesaiin sendiri.” ucap Ayis menolak permintaan Ray yang menyuruhnya untuk bercerita. Ayis menolak bukan karena ia sudah tidak menganggap mereka sahabat. Bukan juga karena ia sudah tidak percaya lagi dengan mereka. Ia merasa tidak enak dengan mereka. Maka dari itu ia berusaha tetap teguh pendirian agar tidak menceritakan masalahnya.
“Yaudah, kalau lo mau cerita, cerita aja. Kita selalu ada kok buat lo.” simpul Della pada akhirnya. Mereka tidak mau memaksa Ayis. Toh dipaksa itu rasanya tidak enak. Mereka tahu kondisi Ayis sekarang. Suatu saat juga Ayis akan bercerita dengan sendirinya. Kalau tidak begitu, Ayis akan cerita jika masalahnya itu sudah selesai.
Ayis menoleh melihat kearah Rezvan yang sedang berkumpul dengan ketiga temannya. Ia terlihat tidak mempunyai mood untuk berbincang. Hanya sekali dua kali ia merespon ucapan temannya. Selebihnya ia cuma mendengarkan. Sekejap Rezvan melihat Ayis. Mungkin ia tahu jika sedari tadi ada yang mengamatinya. Sebenarnya Ayis gugup tapi ia masih melihat kearah Rezvan. Cowok itu menatap Ayis tajam. Entah apa yang terjadi dengan dia. Ayis masih terus melihatnya. Hingga akhirnya Rezvan terlihat berpamitan dengan ketiga temannya lalu berdiri dan meninggalkan tempat. Perasaan Ayis sudah tidak bisa didefinisikan lagi. Perasaannya terlalu campur aduk. Antara kecewa, emosi, lelah, dan bingung. Kenapa Rezvan memperlakukan Ayis seperti itu?
Rezvan pergi seraya menatap Ayis tajam. Seperti ada rasa benci yang ia tunjukkan lewat tatapannya itu. Sebuah masalah telah hadir kembali. Hati Ayis terasa rapuh. Ingin rasanya ia menangis meluapkan semua perasaannya. Ia berterima kasih pada raganya yang sukses terlihat tegar. Andai saat ini ia sendiri. Pasti air mata itu sudah mengalir di wajah gadis cantik itu tanpa mengenal kata henti. Tapi Ayis sadar. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan hal bodoh itu.