Di perjalanan menuju kampus, kami saling diam. Aku terlalu fokus menghubungi Elsa yang benar-benar tak diketahui keberadaannya selanjutnya.
Hatiku sudah seperti diombang-ambingkan. Parahnya, waktu aku hendak menanyakan keberadaannya secara pasti pun dia tak membalas pesannya. Jangankan membalas, membacanya saja pun tidak. Ya Allah, Elsa, kau membuatku sangat khawatir!
Saat Abid memberhentikan motornya. Aku tersenyum sembari memberikan uangnya.
"Eh, enggak usah," tolaknya dengan halus.
Aku menaikkan satu alis sambil menggelengkan kepala. "Sudah ambil saja, Bid. Aku sedang buru-buru," ujarku dengan wajah panik. Namun, Ia tetap menggelengkan kepalanya. "Enggak apa-apa gua ikhlas. Langsung masuk saja," ucapnya yang baru selesai melepaskan helm.
Tanpa basa-basi lagi, aku pun menaruh uangnya di dashboard motor. "Kembaliannya ambil saja, Bid. Kamu lebih membutuhkan. Duluan, ya!" Aku langsung lari ke arah dalam kampus. Tak peduli dengan panggilan Abid itu. Kutinggalkan dia tanpa seutas senyuman pun. Bukan! Bukan karena aku tak menyukai keberadaannya. Namun, ini semua tentang Elsa. Sahabat terbaikku. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Namun, baru sampai di depan lobi kampus, Muhzeo menahanku yang sedang buru-buru.
"Misi, dong!" Aku menggerutu. Namun, badannya tak sama sekali mau bergerak dari tempat. Aku terpaksa sedikit menjauhkan diri agar tak bersentuhan secara langsung dengannya.
"Berangkat sama siapa?" tanyanya dengan wajah datar.
"Ojol," jawabku singkat.
Ia terkekeh sebentar sembari terus menghalau pergerakanku yang hendak lanjut jalan. "Ojol kok dekat sekali, ya?" Aku sudah semakin malas berada di jalur topik yang dibawanya. Lagi-lagi rasa cemburu yang menguasainya.
"Kebetulan dia teman waktu aku Sekolah Dasar. Permisi, Ze!" Aku menginjak kakinya dan segera berlari ke dalam kampus. Aku langsung berlari tak tentu arah dan mendatangi semua tempat yang biasa menjadi tempat favorit Elsa. Muhzeo mengejar-ngejarku dari belakang. Pertanyaannya itu tak pernah kugubris. Yang terpenting sekarang adalah aku bisa menemukan Elsa dalam keadaan baik-baik saja.
"Stop di sana! Jelaskan dulu ada apa!" Muhzeo terdengar putus asa dan berhenti mengejarku.
"Lo ikut aja!" Aku tak mempedulikannya lagi. Saat itu juga aku mulai teringat akan satu hal. Tempat ternyaman yang jarang didatangi orang jika tidak ada kepentingan. Ya, Masjid kampus!
Aku berlari lagi menuju ke arah barat sembari terus memantau tempat-tempat lain yang mungkin sekiranya bisa mengingatkanku akan tempat kesukaan Elsa di kampus ini. Setelah berada di depan Masjid, aku melihat sepatu berwarna hijau army yang selalu dipakai Elsa. Tak pakai pikir panjang, aku langsung masuk ke dalam masjid untuk memastikan keadaannya.
Aku terkejut saat melihat seorang gadis tengah memeluk lutut dengan mukena yang sudah tak berbentuk rapi. Aku segera memeluknya dan berusaha menyadarkannya. Sebenarnya ada apa dengan dirinya?
"El? Kenapa? Astaghfirullahal'adzim, kenapa sampai seperti ini?" Elsa yang melihatku itu langsung menangis sejadi-jadinya di pelukanku. Kuusap perlahan kepalanya yang terbalut mukena putih.
Elsa terlihat beristighfar berkali-kali. "Aku salah apa sampai Allah menghukum dengan cobaan seperti ini, Dir?" Aku masih berusaha memahami ucapan Elsa yang memang belum dijelaskan Secara detail.
"Elsa, tenang! Coba ceritakan perlahan. Aku ada di sini untuk dengarkan masalahmu, untuk menenangkanmu, dan juga untuk selalu menemanimu apapun alasannya." Elsa terlihat sedikit tenang. Matanya sayu dan sembab dengan wajah yang sedikit pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
HorrorTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...