Dua hari setelah mendengar kabar baik mengenai kepulangan Hilmi, akhirnya kami diundang untuk datang di kediamannya yang ramai orang dikarenakan ada acara pengajian. Rumahnya sudah dibersihkan dari berbagai macam gangguan yang ada. Mengapa aku bisa bicara seperti itu? Karena makhluk kiriman yang tempo hari kulihat bersama Muhzeo sudah tak ada lagi di sini.
"Hei, kok kalian di sini? Enggak masuk?" tanya Hilmi yang tiba-tiba saja sudah tersenyum kepada kami. Baju Kokonya yang berwarna putih sangat menarik perhatian kami. Karena tentu tampilannya sangat berbeda jauh dari Hilmi yang sering menggunakan pakaian gelap atau juga jaket dan sejenisnya.
"Wih, Masya Allah, Akhi, shalihah sekali kamu!" ungkap Paul.
Pletak!
Satu pukulan botol berhasil mendarat di kepala Paul.
"Aduh, apa sih, Ze, kok lo enggak jelas? Gue kan lagi menyanjung kealiman Akhi Hilmi," ucapnya tanpa dosa.
"Lo nyanjung dia pakai kata apa tadi?" tanya Muhzeo memastikan dengan wajah datarnya.
"Sholihah. Buat orang yang alim, 'kan?" Dia tersenyum bangga seakan-akan dia mengenal betul bahasa Arab yang sering digunakan umat Islam.
"Lo pikir dia perempuan? Sholihah itu untuk perempuan. Sholih untuk laki-laki," ralat Muhzeo dengan gelak tawa yang tiba-tiba saja menular kepada kami.
"Eh, iya, 'kah? Berarti gue masih suka kebalik-balik. Ya maklum aja, ya, hehehe." Paul menggaruk kepalanya dan terlihat malu. "E–eh, t–tapi...." Dia mulai terlihat panik sembari memukul kepalanya pelan. "Bodoh ... bodoh!"
Kami mulai meredakan tawa sembari menoleh ke arahnya.
"Bodoh kenapa?" tanyaku.
"Kalau perempuan itu sholihah, berarti penyebutan muslimah untuk perempuan, dong?" tanya Paul dengan wajah seriusnya.
"Betul," sahut Elsa.
"Ya Allah, bodoh sekali gue!" Paul masih merutuki dirinya.
"Kenapa, sih?" tanya Hilmi yang mulai ikut penasaran.
Ia menatap kami tanpa senyum. "Kemarin nilai semester gue anjlok."
Aku mengerutkan dahi. "Masalahnya sama muslimah apa?" tanyaku.
"Pak Fakhru kayaknya dendam sama gue a–atau memang gue yang salah, sih. Sumpah, setelah sekian lama bingung dan tanya ke beliau kenapa nilai gue bisa anjlok padahal tugas selalu clear tanpa sisa, akhirnya gue tau kenapa penyebabnya."
Muhzeo mendekat ke arahnya sembari merangkul pundak Paul. "Pak Fakhru yang ... maaf, kayak perempuan itu?"
Paul mangut-mangut menyetujui.
"Kok bisa? Kenapa?" Kami semua mulai merapatkan barisan untuk melanjutkan bahan pembicaraan.
"Soalnya waktu dia selesai bawakan tausiyah di kelas, gua bilang gini, 'Masya Allah, Pak Fakhru seorang Muslimah yang sangat taat sekali. Saya salut sama Bapak." Dengan muka polosnya, Paul langsung memperlihatkan deretan giginya. "E–eh, t–tapi sumpah gue enggak ada niatan mengejek. Murni banget gue mau muji dia. Eh, oncomnya malah segala salah sebut kayak gitu!"
"Astaghfirullah, ketawa banget gue dengernya, hahaha!" Muhzeo memegangi perutnya sembari tertawa lepas.
"Auto coret nilai parah, sih! Makanya jangan macam-macam!" Aku tertawa lepas sembari benar-benar tidak tahu harus memberikan komentar apa lagi kepada Paul.
"Oncom, lah! Terus teman-teman sekelas lo bilang apa?" tanya Elsa yang masih belum bisa berhenti tertawa.
Paul menggaruk kepalanya. "Ya semua ketawa. Habis itu Pak Fakhru langsung pergi keluar kelas sambil senyum mematikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
TerrorTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...