Dira Dilamar?

445 80 14
                                    

Tiga tahun berlalu ....

Tak terasa kehadiranku di kampus tinggal menghitung hari saja. Aku bukan lagi aku yang dulu. Fokusku kini mulai menuju pada tugas akhir yang tiada kenal selesai. Semua orang bagaikan bayangan di hadapanku jika aku tengah berurusan dengan tugas. Terlihat, namun tak kuhiraukan kehadirannya.

"Aargh! Astaghfirullah!" Aku memaki keras tatkala laptopku tiba-tiba saja nge-lag. Beruntunglah beberapa bagian dari skripsi telah kusimpan dengan baik.

Tanganku menggapai ponsel yang telah menunjukkan pukul 1 malam. Beberapa bagian tugas harus kubawa kepada dosen untuk ditunjukkan besok, tapi kalau laptopnya seperti ini, apa kabar dengan tugasku?

"Halo, assalamu'alaikum."

"Hoahem ... Waalaikumussalam, Dira."

Terdengar jelas kalau Kak Kenan menguap dari seberang telepon.

"Kau buat apa malam-malam seperti ini? Belum tertidur, Kah? Bukankah besok sekolah?"

"Can you help me, please? Laptopku rusak, Kak. Aku ada tugas yang deadline-nya besok. Aku pinjam laptopmu boleh? Aku pusing sekali."

"Ah, bukankah kau tau kalau laptopku juga bermasalah di bagian keyboard?"

"Ya Allah, bagaimana tugasku!"

Tanganku tergenggam kuat-kuat dan mataku mulai berkaca-kaca. Kepalaku juga terasa sudah cukup berat lantaran pening bercampur lelah ingin tidur. Ah, begini, toh, rasanya jadi mahasiswa stres karena tugas akhir?

"Muhzeo coba."

Tut ... tut ... tut ....

Aku segera memutus sambungan telepon dan mulai menghubungi orang yang disarankan oleh si genius Kenan. Beruntunglah orangnya mengantuk, tapi otaknya tetap jalan terus.

"Halo?"

Suara serak khas orang bangun tidur berhasil membuatku tersenyum. Gila! Dari suara saja dia sudah bisa membuat orang mempercayai bahwa dirinya sangat tampan!

"Kok diam?"

"Ah, iya! A–aku ...."

Aih, kenapa aku jadi salting seperti ini, sih?

"Kamu kenapa, sayang?"

Aih, Aku lagi panik, loh, ini! Ya Allah, jantungku enggak kabur, 'kan? Dengan konyolnya justru aku langsung memegang dada dan memastikan bahwa ia benar-benar masih berdetak pada tempatnya.

"Loh, kok diam lagi? Kangen, ya? Tumben dini hari seperti ini telepon."

"Jangan geer!"

"Terus kenapa? Di belakang kamu ada apa, deh? Kok aku ngerasa gak enak, ya."

Aku menoleh ke arah belakang dan benar saja, sebuah makhluk hitam besar tengah memperhatikanku dengan saksama. Aku hanya bisa memejamkan mata seraya berdoa. Ya Allah, aku sedang benar-benar pusing memikirkan tugas, kumohon jangan buat 'Mereka' menggangguku dulu.

"Ah, sudah pergi."

Muhzeo memang benar-benar indigo dengan ketepatan penglihatan yang akurat. Mungkin karena aku sedang banyak pikiran sampai-sampai tak bisa merasakan keberadaan makhluk itu di belakangku. Beruntung pula aku tak merasa takut, karena bahwasanya, kamarku sedang dalam keadaan gelap. Sinar yang timbul hanya dari lampu meja belajar, handphone, dan juga laptop saja.

"A–aku mau pinjam laptop kamu, boleh? Besok aku ada deadline tugas dan kebetulan laptop aku nge-lag gini. Aku bingung harus bagaimana sementar–"

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang