Ada Apa Dengan Elsa?

857 156 4
                                    

Eits! Sebelum mampir, jangan lupa vote dulu! Kalau sudah?

Yuk, mari lanjutkan!

"Astaghfirullah, kenapa harus telat coba?" Aku hanya bisa merutuki kecerobohanku yang semalam tidur terlalu larut karena menghabiskan waktu untuk menulis blog. Ah, sekarang kalau sudah seperti ini, mau menyalahkan siapa?

Pasrah dengan keadaan, aku hanya bisa sedikit Ikhtiar untuk menunggu Abang ojol segera datang karena Muhzeo yang sedang tidak bisa mengantar. Mungkin ada urusan dengan perusahaannya. Ya, kami harus benar-benar saling mengerti bila ada kesibukan.

Kak Kenan yang sejak subuh tadi sudah pergi ke kampusnya karena akan ada persiapan skripsi. Ya, InsyaaAllah, dia akan lulus tahun ini.

Alhasil, mau tidak mau aku harus menggunakan jasa aplikasi ojek online agar tak semakin terlambat sampai di kampus. Namun, sudah setengah jam aku menunggu, tanda-tanda ojol itu akan tiba pun nihil rasanya. Aku sudah semakin mati rasa di depan rumah. Notifikasi pun tak kudapatkan baik lewat pesan atau pun panggilan di ponselku.

"Ya Allah, Bang, niat ngojek enggak, sih?" Aku menggerutu sembari terduduk di depan rumah. Jalanan sedang kosong melompong tak ada orang yang hilir mudik. Hingga tak lama kemudian, datang seorang berjaket hijau ke arahku.

"Bang, lama sekali, sih? Deket, 'kan?" ketusku saat ojol itu datang, tapi setelah berpikir dua kali, rasa-rasanya aku tak harus seperti ini padanya. Aku sudah terlalu keras.

Abang ojol itu menoleh ke arahku. Aku sempat diam saat orang itu melihatku tanpa berkedip. Aku langsung terkejut saat Abang Ojol itu melepaskan helmnya. "Deket buat apa kalau enggak jadian?"

Deg ....

Aku terpaku saat melihat siapa orang dibalik jaket ojol itu. "A-abid?" Aku memastikannya dengan cukup teliti. Benar saja itu Abid! Laki-laki idamanku waktu SD. Masa-masa saat aku merasakan cinta monyet. Ah, cinta pertamaku sepertinya.

"Nadira, 'kan?" tanyanya memastikan dengan baik.

Aku mengangguk sambil sedikit tersenyum. "Aku kira bukan temen SD. Ternyata benar itu kamu. Sekarang kamu sudah beda, ya. Lebih bersih dari yang dulu," ucapnya sembari terkekeh.

Aku melotot tajam. "Loh, memang dulu aku jorok?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Enggak, maksudnya lebih putih dan, ya, cantik," ucapnya sembari terkekeh lagi.

Ah, senyuman dan candaannya tidak pernah berubah rupanya.

Sedikit tentangnya. Dia adalah salah satu rival terberatku sewaktu SD. Dia sangat pintar dan benar-benar tampan. Tajirnya juga enggak kalah, loh! Oh iya, terkadang peringkat kelas benar-benar diperebutkan oleh kami. Semester pertama dia yang mendapatkan peringkat pertama, semester kedua giliran aku. Begitu terus berputar sampai kami lulus SD.

Aku melotot dan melirik ke arah arlojiku. Sial! 10 menit lagi kelas selesai!

"Kenapa, Dira? Jadi naiknya?" tanyanya yang mungkin sudah menebak gerak-gerikku.

Aku menggelengkan kepalaku. "Enggak. Sepuluh menit lagi kelas bubar. Kalaupun datang, enggak akan keburu. Lagi pula hari ini jadwal kelas selanjutnya jam satu. Masih ada empat jam lagi," terangku yang merasa tidak enak kalau harus men-cancel ojolnya.

"Waduh, maaf, ya, soalnya tadi bannya kempes. Jadi harus dipompa dulu dan kebetulan tukang pompa tutup semua. Harus keliling jauh dulu untuk cari tempatnya."

Aku menggelengkan kepala ketika mendengarkan ucapannya itu. "Eh, enggak, kok. Bukan salah kamu. Lagi pula tadi aku telat bangun jadi, ya, terlambat juga buat ke kampusnya," sahutku sambil sedikit tersenyum ramah.

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang