Selamat Tinggal!

437 82 29
                                    

"Kamu yakin, Dira?" Mamah menatapku dengan tatapan tak rela.

"InsyaaAllah, yakin, Mah. Mamah mau aku berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, 'kan?"

"Tapi untuk berubah menjadi lebih baik tidak harus ke luar negeri juga, 'kan?"

Aku tersenyum seraya mengusap tangannya perlahan. "Aku sudah besar, Mah. Dua hari kemarin aku sudah wisuda. Lalu ... apa yang Mamah khawatirkan dariku? Allah selalu bersamaku dan tentunya hal itu menambahkan ketauhidanku untuk percaya bahwa tak ada satupun yang dapat menyakitiku tanpa seizin-Nya."

Mamah tersenyum seraya mengangguk perlahan. "Sekali lagi Mamah tekankan, kamu sudah yakin, Dira? Karena apapun konsekuensinya nanti, kamu harus bisa menjalankan dengan sebaik-baiknya."

Tatapanku mulai memberikan penjelasan batin kepadanya. "Dira yakin kalau Sydney adalah kota tujuan Dira untuk saat ini, Mah."

Arter tiba-tiba saja memelukku dengan teriakan tangis histerisnya yang juga disusul oleh Kak Kenan. Aku tak bisa membohongi diri jika harus bicara kalau aku siap tanpa mereka. Bagaimanapun juga mereka adalah support system-ku hingga akhirnya aku bisa sekuat ini.

"Teman-temanmu sudah tahu?"

Aku mengangguk pasti. "Terkecuali Muhzeo. Jangan beritahu dia, Mah. Kami sudah menjalani kehidupan masing-masing."

Mamah tersenyum seraya memegang pundakku. "Mamah paham, sayang. Mamah selalu doakan yang terbaik untukmu."

Aku tersenyum sembari melepaskan dua pelukan lelaki kesayanganku itu. Namun, belum sempat mereka berhenti menangis karenaku, tiba-tiba saja sosok cinta pertamaku yang masih berbalutkan handuk datang dan memelukku penuh isakkan.

"Sayang, sudah sebesar ini 'kah kamu? Apa kamu lupa kalau kamu pernah menangis tidak ingin ke rumah sakit karena banyak hantu? Kenapa sekarang kamu sudah seberani ini untuk pergi ke negeri orang yang jelas lebih banyak hantu aneh dan tentunya tidak kamu kenali?" Papah melepaskan pelukannya dan memegangi pundakku kuat-kuat.

"Ah, Papah! Waktu telah mendewasakanku hingga berada di titik ini. Dan bukankah aku pantas untuk menentukan sendiri jalan hidupku ke depannya?"

Papah terkekeh seraya menghapus air matanya. "Kami tidak akan pernah memaksamu untuk tinggal, tapi ingat! Kami juga akan selalu membuka pintu selebar dunia untuk kepulanganmu setelah mencari jati diri. Kami menaruh harapan besar untuk kesuksesanmu di dunia dan akhirat. Kamu adalah sosok wanita mulia yang tentunya InsyaaAllah akan selalu dijaga oleh Yang Maha Kuasa. Papah akan sangat merindukan gadis kecil yang selalu merengek minta diusirkan bila ada makhluk halus."

Aku mulai tak kuasa menahan tangis. Mengapa bisa keluarga ini benar-benar menghangatkan? Terima kasih Ya Allah ....

"Dira janji takkan mengecewakan kalian. Besok InsyaaAllah, Dira akan berangkat ke Sydney untuk menggemakan Islam lebih dalam di sana. Doakan juga supaya Dira bisa cepat dapat kerja dan tidak selalu merepotkan Mamah dan Papah."

Mamah memeluk dan mencium keningku perlahan. "Tidak ada satu orang tua pun yang merasa bahwa kehadiran sang anak itu merepotkan, sayang. Mamah bersyukur punya gadis manis sebaik dirimu. Jaga selalu kewajiban ibadahmu di sana. Jangan terbawa pergaulan, ya!"

"Tentu saja InsyaaAllah tidak. Dira selalu berdoa yang terbaik untuk ke depannya."

"Kalau begitu ...." Papah merangkul diriku seraya terkekeh. "Nanti malam kita makan di luar, ya. Sekarang kamu istirahat dulu sekaligus bereskan barang untuk besok. Jangan bawa terlalu banyak barang! Bawalah yang benar-benar kau perlukan. Masalah nanti ada yang tertinggal, kamu beli saja seadanya di sana, ya. Papah yakin pasti ada kok!"

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang