Jangan lupa untuk vote sebelum membaca. Jika kau menghargai orang lain, maka orang lain akan lebih menghargaimu.
Remember! Don't read this alone. Especially at night. Okay, happy reading!
👀
Rasa perih perlahan melanda di sekujur tubuh. Aku telah sadar, namun mengapa rasanya cukup berat untuk membuka mataku? Kurasakan ngilu yang menikam bertubi-tubi.
Pikiranku masih melayang ke arah Tere.
Tere, kamu di mana? Ke mana perginya dirimu?
Perlahan pandanganku mulai terbuka. Samar-samar kulihat keberadaan orang banyak yang langsung membuatku bingung, namun dengan keadaan yang masih sangat lemah.
"Alhamdulillah, Dira sadar!" Teriakan seseorang yang sangat kukenali itu menggema di seluruh ruangan. Ya, siapa lagi kalau bukan suara Paul?
Semua orang langsung mengerubungiku. Aku tampak linglung, namun tetap berusaha untuk tersenyum.
Mamah, Papah, dan Kak Kenan langsung memelukku dengan cukup kencang. Tubuhku terasa engap dan sulit untuk bernapas.
"Dira, maafin Papah yang gagal jaga kamu," ucap Papah sembari mengecup puncak kepalaku dengan sangat tulus.
Aku hanya bisa tersenyum sembari memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
"Aku enggak apa-apa, kok, Pah," sahutku dengan cukup tenang.
Mamah mulai memperjelas tangisannya. Aku semakin bingung dibuatnya.
"Dira, kamu harus bisa sehat lagi. Maafin Mamah yang juga tidak bisa menjagamu dengan baik."
"Auh." Aku melenguh saat mencoba menggerakkan tubuh. Rasanya benar-benar sakit sekali di setiap inci tubuhku.
"Jangan banyak gerak, Dira. Kamu harus istirahat total selama dua hari. Di hari ketiga baru kamu boleh turun dari kasur." Kak Kenan nampak membantuku untuk membaringkan badanku kembali.
Aku menoleh ke arah tubuhku yang kini sukses dibalut oleh banyak perban. Separah itukah perlakuan lelaki bejat itu kepadaku?
"Tere? Di mana Tere, Mah?" tanyaku pada Mamah sembari menoleh ke segala arah.
"Loh, kenapa tiba-tiba kamu tanya soal itu? Tere kan sudah lama pergi, Dira," ucap Mamah sembari mengelus kepalaku dengan penuh kasih.
"Tadi aku bertemu dengannya, Mah. Aku sangat merindukannya, Mah. Aku tak mau kehilangannya," ucapku sembari memeluk Mamah dengan cukup erat.
"Tere?"
Aku melotot ke arah sesosok anak yang tampak baru masuk ke dalam kamar inap. Rambutnya hitam dengan bola mata yang jauh lebih bulat dari Tere. Ia menatapku dengan bingung sembari tersenyum kecil.
"Ka–kamu–"
"Dia Aris, Dira. Tidak ada Tere di sini," tukas Muhzeo sembari tersenyum dan merangkul pundak Aris.
Aku memegang kepalaku untuk mengingat-ingat sosok yang dimaksud oleh Muhzeo.
"A–aris?"
"Iya. Anak lelaki yang kita temui sebelum pulang kemarin."
Aku mulai menyipitkan mataku. Sepertinya benturan keras yang ada di kepalaku sedikit membuatku melupakan kejadian beberapa jam yang lalu. Atau lebih tepatnya kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
HorreurTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...