Juju sudah pulang sekitar setengah jam yang lalu dikarenakan mendung yang menghiasi langit sore hari ini. Tepat dugaanku jika hari ini akan turun hujan. Entah sudah berapa lama hujan tak berjumpa denganku. Setelah sakit di rumah sakit yang membuatku tak memperhatikan kondisi di sekitar.
"Sayang, kok melamun?" Mamah sudah berada di depanku saat ini. Aku mengerjapkan mata untuk memulihkan kesadaran.
"Eh, Mamah sudah pulang?" Aku tersenyum sembari Membersihkan ujung seprai di tepi kasur yang nampak sedikit berantakan.
"Sudah. Mamah ada choco pie kesukaan kamu, nih. Mau enggak?" Mamah menyodorkan sekardus cokelat berisi makanan favoritku sejak duduk di bangku SMP.
Senyumku mengembang sembari berniat untuk mengambil kardus makanan tersebut.
"Eits! Ingat, ya. Harus habis dalam sebulan. Kalau belum sampai sebulan sudah habis, Mamah enggak akan belikan lagi. Terlalu banyak makan cokelat akan membuat kamu sakit gigi, sayang," ucap Mamah sembari mengelus lembut kepalaku.
"Aku sudah paham kata-kata Mamah yang ini, kok," sahutku sembari terkekeh dan memeluk Mamah.
"Oh iya, Mah. Aku kan sudah lumayan mendingan, nih. Kalau beberapa hari lagi aku izin menginap di rumah Juju, apa boleh? Soalnya aku harus segera menyelesaikan tug–"
"Enggak." Jawaban singkat yang penuh makna dari Mamah berhasil terlontar begitu saja.
"Kenapa? Aku sudah sembuh, Mah."
"Sayang, keselamatan kamu nomor satu. Kalau kamu masuk rumah sakit lagi, bagaimana? Enggak inget waktu SMA temanmu Hilmi itu sempat celaka di rumah Paul?" Aku sedikit tercenung mendengar ucapan dari Mamah itu.
"Gini, sayang, Mamah enggak mau melihat kamu kenapa-kenapa lagi. Banyak makhluk di luar sana yang tertarik untuk menggoyahkan imanmu. Bahkan sampai hati untuk mencelakai dirimu. Apalagi di tempat orang yang baru di kenal. Eum, maksud Mamah di lingkungan baru seperti rumah Juju. Dari segi kepercayaan perlindungan saja kita beda, Dira. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?" Aku semakin terpojok dengan perkataan Mamah yang tak sedikit pun memberikan space untukku berbicara.
"Mamah bukannya shuudzon, sayang, tapi kamu pasti mengerti kalau naluri seorang ibu kepada anaknya selalu benar. Bukankah ridho Ibu, ridho Allah juga?" Mamah mengelus tanganku sembari tersenyum meyakinkanku.
"Belajarnya di sini saja, ya, sayang. Nanti Mamah siapkan apapun yang kamu butuhkan. Kamu tinggal panggil Kak Kenan atau Arter saja, ya. Gapapa, 'kan? Dira mau nurut Mamah, 'kan? Ini demi kebaikanmu, kok, sayang." Mamah mengecup pelan keningku, menyiratkan rasa kasih sayangnya yang begitu besar. Apalagi semenjak hadirnya Arter, keluargaku menjadi lebih harmonis dan tambah lengkap saja.
"Iya, Mah. Biar nanti aku hubungi Juju lagi, ya, Mah," sahutku dengan penuh senyum ketulusan.
"Eh, iya, kamu sudah makan?" tanya Mamah sembari melihat air putih yang ada di laci kecil sebelah tempat tidurku.
"Baru tadi pagi sarapan sama makan cemilan bareng Juju, Mah. Kebetulan tadi dia ke sini untuk bahas tugas itu sekalian menjenguk Dira."
"Allahu Akbar... Allahu Akbar ...."
"Alhamdulillah sudah ashar. Kita sholat dulu, yuk! Habis itu kita makan. Mau enggak kalau makannya Mamah suapin?" Pertanyaan dari Mamah tersebut tentu saja membuatku mampu mengembangkan senyum bahagia dan anggukan penuh semangat.
"Ya sudah Mamah bantu kamu wudhu, ya. Kita sholat berjama'ah di bawah, yuk! Nanti Papah yang jadi imamnya. Mau? Atau kamu mau sendiri?"
"Berjama'ah saja, Mah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
HorrorTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...