Hay! Apa kabar semua? Sehat pasti, 'kan? Alhamdulillah, kalau gitu! Sebelum baca part ini, jangan lupa untuk baca bagian berikutnya karena ini merupakan bagian lanjutannya.
Btw, kali ini kita pakai sudut pandang Aris, ya. Aris siapa? Nah, kenapa aku suruh baca bagian berikutnya? Karena Aris ada di bagian tersebut.
Oke, daripada bingung, lebih baik lanjut baca, yuk!
Remember! Don't read this alone. Especially at night. Okay, happy reading!
👀
Aris POV.
Senyum bahagiaku luntur ketika Kak Dira pergi untuk pulang ke rumahnya. Kehadirannya yang secara tiba-tiba itu membuatku melupakan kesedihanku sejenak. Walaupun pada kenyataannya, kesedihan itu kembali lagi ketika dirinya pergi.
Ingin sekali aku merasakan kehangatan sosok Kakak, orang tua, dan juga sanak saudara. Namun nyatanya, kini aku sendiri dan hidup sebagai sebatang kara di kota yang besar. Aku tak berharap banyak pada dunia, tapi aku yakin jika Allah akan menjamin surga bagi hamba-Nya yang sabar dan terus berjuang.
"Eh, apa ini?" Aku terkejut saat melihat sebuah buku tergeletak tak jauh dariku. Sebuah buku berwarna kuning cerah. Nampak seperti notebook.
Aku melihat bagian pertama pada buku tersebut.
Nadira yang cantik ^_^
Ah, ternyata punya Kak Dira. Lucu sekali namanya!
"Pasti buku ini penting, ya? Isinya catatan pelajaran semua. Apa aku harus kembalikan bukunya sekarang?" Aku menimang-nimang sembari melihat kartu kecil yang berisikan nama Sofyan Wicaksono.
"Alamatnya lumayan jauh. Kalau jalan kaki pasti cukup lama sampainya, tapi kalau naik kendaraan, aku tidak punya uang," keluhku sembari menoleh ke arah jalan raya yang tengah padat merayap.
Sebuah mobil pick up melaju di depanku. Aku tersenyum sembari melambaikan tanganku ke arah sang supir.
"Kenapa, Dek?" tanya Abang supir sembari menghentikan laju mobilnya.
"Boleh numpang enggak, Bang? Ini alamatnya." Aku menyodorkan kartu nama tersebut kepada si Abang supir.
"Naik, deh! Tapi di belakang gapapa?" tanyanya.
"Enggak apa-apa, Bang!"
Aku langsung naik ke bagian belakang mobil. Pandangan mata mulai menembus kemacetan parah di Ibu Kota.
👀
"Menurut alamat, ini rumahnya, Dek," ucap Abang supir itu sembari menunjuk sebuah rumah yang sangat besar.
"Wah! Bagus banget! Makasih banyak, Bang! Maaf kalau Aris merepotkan," ucapku sembari tersenyum ke arah Abang tersebut.
"Santai. Kalau gitu saya pamit, ya. Kamu hati-hati dan jaga diri!" pesan Abang tersebut sembari melajukan mobilnya menjauh dari pandanganku.
Aku menatapi rumah besar yang nampaknya sepi itu.
"Apa Kak Dira belum pulang, ya–"
"Tolong!" Teriakan minta tolong dari sebelah rumah berhasil membuatku terkejut. Setelah kukira-kira, suara tersebut sangat familiar di telingaku. Apakah itu suara Kak Dira?
"Tolong!" Aku langsung berlari masuk ke arah pagar yang terbuka lebar. Kondisi pintunya pun sama. Namun, betapa terkejutnya aku saat melihat sebuah makhluk besar berada di depan ruang tamu. Makhluk itu terlihat tengah memakan babi yang masih utuh. Darahnya tercecer ke mana-mana. Bau busuk seketika memenuhi ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
HorrorTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...