Gadis Kuat

1.4K 212 43
                                    

Aku melepaskan penat sembari berdzikir. Bayangan hantu Aldi benar-benar membuatku tak dapat mengalihkan pikiran ke hal lain. Masih tak dapat disangka tentang kematiannya yang tiba-tiba. Padahal dirinya hanya mengalami sedikit luka tonjok yang orang-orang berikan kepadanya. Tak separah dengan apa yang kualami, bukan?

"Kenan, Aris, Muhzeo, Paul, Hilmi, bersiap-siaplah ikut Papah ke pemakaman Aldi. Mamah akan pulang untuk mengambil baju salin Dira. Elsa, kamu bisa jaga Dira berdua saja, 'kan?" tanya Papah ke arah Elsa yang tengah bercakap-cakap denganku.

"InsyaaAllah, bisa, Om." Elsa terlihat tersenyum manis.

"Baiklah kalau begitu. Ayo!"

Papah terlihat memimpin jalannya mereka semua. Aku sangat tahu persis bahwa mereka malas untuk pergi ke acara pemakaman itu, tetapi tentu suruhan dari Papah tidak akan pernah ada yang berani membantah.

"Oh iya, Dira. Kamu harus cepat sembuh, ya. Masih inget deadline tugasnya, 'kan? Tadi Juju suruh aku ingetin ke kamu. Katanya maaf juga belum bisa datang. Masih banyak kerjaannya yang harus dia selesaikan," ucap Elsa sembari mengambilkanku semangkuk salah buah.

"Oh iya, deadline-nya empat hari lagi. Semoga saja sebentar lagi tenagaku pulih dan bisa dengan cepat mengerjakannya, ya," harapku sembari tersenyum.

Elsa menyuapkan sesendok salad buah tersebut ke arahku.

"Pasti kau cepat sembuh kalau rajin makan dan tetap ikuti anjuran dokter. Sahabatku yang satu ini kan kuat," goda Elsa sembari menoel daguku.

Aku tertawa dengan mulut yang masih dipenuhi dengan salad buah.

"Akhu eng–gkhak–"

"Hus! Dihabiskan dulu yang di mulut," saran Elsa sembari menyodorkan segelas air putih.

Aku tersenyum dan mengunyah salad buah itu. Kuteguk perlahan air putih yang kini berada pada genggaman.

Ceklek ....

"Permisi, Nona Nadira, ya?" Seorang suster datang sembari membawakan sebuah nampan berisi makanan khas rumah sakit.

Aku dan Elsa menyahut dan mulai tersenyum.

"Terima kasih, ya, Sus," ucapku saat suster tersebut berniat untuk pergi setelah memberikan makanan.

"Oh iya, Nona Nadira." Sang suster berupaya menahan diri untuk memegang kenop pintu.

"Nanti jangan lupa untuk mengambil obat di apotek bawah, ya. Resep sudah diberikan, 'kan?" Perempuan cantik berhijab tersebut bertanya dengan nada yang ramah dan lembut.

"Ada di kamu?" Elsa menoleh ke arahku.

"Sepertinya ada di selipan laci," sahutku.

"Baik. Kalau begitu saya pamit, ya. Permisi," ucap suster tersebut sembari tersenyum dan mulai ke luar dari ruangan.

"Aku ambil obat dulu gapapa, Dira?" tanya Elsa yang terlihat sedikit khawatir.

"Eh, jangan. Mamahku tadi enggak nitip uang, 'kan? Nanti kamu bayarnya gimana?"

Elsa terlihat tertawa sejenak. "Ya ampun, Dira. Kamu tuh kayak sama siapa aja, sih. Pakai duit aku juga bisa, kok."

"Terus nanti kalau kamu makan?"

"Gampang! Tinggal gesek ATM lagi. Kakakku kan baru transfer uang," ucap Elsa dengan tampang sombong, namun dengan tujuan bercanda.

"Ih, bisa juga kamu ya, hahaha."

"Gapapa tunggu di sini?"

"Gapapa, El. Aku bukan anak kecil, kok," aku tersenyum.

"Ya sudah kalau begitu aku pergi, ya."

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang