Penguntit Topokki

560 93 21
                                    

"Aku pikir, aku doang yang gabut selama pelajaran tadi."

"Hahaha, aku juga kok, Ju. Habisnya ini pertama kali dosen minta kita meet via google. Biasanya juga langsung."

"Ya maklum, gurunya lagi jelong-jelong ke Italia."

Percakapan kami–Juju dan diriku–dimulai setelah kelas pertemuan via google meet bersama dosen selesai lima menit yang lalu. Dan ternyata cukup memberikan kesan tak menyenangkan

"Enak, ya, bisa pergi ke mana pun. Apalagi kalau sudah punya yang sendiri. Euh, damage-nya itu, loh!"

"Itu cita-cita semua orang banget, enggak, sih, Dira? Sukses dan bisa ajak satu keluarga liburan ke luar negeri."

Aku sedikit terkekeh sembari melahap beberapa potong mangga. "Enggak semua orang, sih, tapi kalau orang itu suksesnya di atas rata-rata, ada kemungkinan juga, sih untuk ke luar negeri. Terutama mungkin ke Mekkah bagi yang muslim. Oh iya, Ju, bagaimana dengan pertukaran pelajarmu itu?"

Juju tertawa kecil dari balik video call. Ia pun mulai menatapku sembari mengusap wajah. Tanpa terasa satu menit dia terdiam. Aku hanya bisa menunggunya membalas. Sepertinya ia sedang mempersiapkan hati untuk mengungkapkan sesuatu.

"Dira, walaupun kita hanya sahabat sebatas kelas, rasanya untuk meninggalkan kamu itu berat sekali." Ia mulai memperlihatkan air matanya yang mulai memenuhi pelupuk mata sambil sesekali menengadahkan kepala.

"Ah, Ju! Aku enggak anggap persahabatan kita sebatas sahabat kelas saja, kok! Kamu sama seperti Elsa, Muhzeo, Paul, dan juga Hilmi. Walaupun memang kita hanya bisa bertemu di kelas saja. Ah, aku bangga punya teman sepintar dan seberuntung kamu!" Aku ikut terharu dengan perkataannya.

"Ah, Dira! Aku akan ada di sana sampai dua tahun. Jujur a–aku cuma bisa curhat segala masalah ke kamu saja. Belum pernah sekali pun aku punya teman yang bisa kucurhati seperti dirimu. Entah kenapa kamu selalu membawa aura positif untuk orang terdekatmu, Dira. Jangan pernah berubah, ya!"

Alhasil kami berhasil menangis bersama. Mungkin jika secara langsung, tangis dan peluk kami masing-masing akan lebih hebat lagi.

"Kapan kamu berangkat, Ju?"

"Besok, Dira."

"Kok dadakan?"

"Aku juga bingung, Dira. Sekarang aku sudah berada di rumah Pamanku yang dekat dari bandara agar besok pagi tidak terlambat. Maaf Dira kita belum bisa bertemu lagi. Padahal aku harus pergi dua tahun lamanya. Ah, Dira!" Juju kembali menangis kencang dari layar.

Aku hanya bisa menggigit bibir bawah dan tersenyum kecil. "Ju, kamu akan baik-baik saja. Begitupun dengan diriku. Kamu kuat dan aku siap untuk tetap menjadi tempat curhat untukmu kapan saja, InsyaaAllah. Kalau ada yang jahat sama kamu, abaikan, Ju! Aku yakin niatmu di sana benar-benar untuk belajar dengan giat dan pulang untuk menjadi orang yang sukses!"

"Eh, Ya Tuhan, Amin! Ah, sampai lupa kalau aku juga punya cita-cita besar. Kamu memang benar-benar sahabat terbaikku, Dira. Terima kasih banyak."

"Sama-sama!" Aku menghela napas sebentar sebelum akhirnya mulai tersenyum menguatkan. "Kamu pasti bisa, Ju!"

"Amin! Oh iya, sudah dulu, ya, Dira. Pamanku memanggil. Bye!"

"Iya, Bye!"

Aku tersenyum kecil dan mulai menutup ponsel.

Ceklek ....

Netraku menangkap keberadaan Kak Kenan yang tersenyum ke arahku. "Kamu selingkuh dari Muhzeo?"

Dahiku seketika mengerut, berupaya memahami maksud perkataan sompralnya itu.

"Maksud Kakak?"

"Itu di luar ada laki-laki."

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang