Suasana rumah ramai dengan para tamu pengajian. Padahal Paman hanya menyarankan pengajian kecil-kecilan saja. Namun, Papah melaksanakan pengajian yang lumayan besar hingga mengundang banyak anak yatim-piatu untuk turut serta.
Suasana rumah cukup berbeda kali ini. Tenang, damai, dan cerah. Aku berharap akan seperti ini seterusnya. Semoga saja.
"Kak Dira." Panggilan dari Arter berhasil membuatku tersadar dari lamunan.
"Eh, ya?" Arter segera berjinjit ringan dan berniat untuk berbisik kepadaku. Aku pun sedikit menunduk untuk menyamai tinggi kami.
"Kak Muhzeo ingin bicara," bisiknya sembari menunjuk ke arah Muhzeo yang tengah berbincang dengan Kak Kenan.
"Oke deh. Makasih, ya," ucapku sembari melakukan tos pelan dengannya.
Ya, kami benar-benar akrab layaknya dua orang sepantaran. Sampai-sampai aku seperti kembali pada dunia kecilku lagi ketika bermain dengan Arter.
Aku pun menghampiri Muhzeo yang terlihat tampan dengan menggunakan koko putih dan sarung. Ah, lagi-lagi aku tak dapat menghilangkan senyuman ini.
"Panggil?" tanyaku perlahan.
Dia langsung menghentikan percakapannya dengan Kak Kenan.
"Urus bocil dulu, ya," pamit Muhzeo ke arah Kak Kenan.
"Eh! Enak aja bocil-bocil!" makiku dengan nada tak terima.
"Udah, sih, terima aja. Memang benar kamu bocil, kok," ledek Kak Kenan sembari mengacak kerudungku.
"Huh, sompral!" ketusku sembari memanyunkan bibir.
"Udah, ah! Mari Kakak ipar." Aku melotot seketika saat Muhzeo memanggil Kak Kenan dengan panggilan 'Kakak ipar'.
"Kok Kakak ipar, sih?"
"Emang enggak mau jadi kenyataan?" tanya Muhzeo dengan santai.
Ucapan yang benar-benar ringan itu mampu membuat pipiku terasa panas seketika. Dasar wong edan!
"Mau ngomong apa?" tanyaku sembari menyuruhnya untuk duduk di sofa dekat dapur.
"Gua mau gabung ke suatu komunitas. Ya, mungkin bisa menyita waktu gua cukup banyak. Lo gapapa?" tanya Muhzeo dengan tatapan mata serius.
"Komunitas apa?"
"Tentang sosial gitu."
"Ya, apa?"
"Ikut perkumpulan orang yang bantu korban bencana alam atau semacam yang bantu-bantu orang meninggal gitu. Eum, bisa dibilang relawan kemanusiaan."
"Serius?" Aku menampilkan muka syok.
"Kenapa? Lo enggak setuju?"
"Eh, kata siapa? Justru gua mau ikut!" ucapku dengan sangat tegas.
"Eh, enggak!"
"Dih, kok ngelarang?"
"Lo itu cewe." Aku memutar bola mata jengah setelah mendengar perkataan Muhzeo tadi.
"Gini-gini gua juga enggak akan merepotkan. Gua tau tentang obat-obatan, kok! Jangan meremehkan, dong!"
"Bukan masalah itu ...."
"Kalau lo ikut, gua harus ikut, titik!"
"Egois."
"Heh, yang egois itu lo kalau enggak bolehin gua ikut gabung! Emang lo pikir komunitas itu cuma punya lo?"
"Duh, Dira–"
Aku segera berbalik badan untuk meninggalkannya.
"Stop! Gua belum selesai bicara!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
HorrorTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...