Putus Saja Lah!

430 82 20
                                    

🔙 Part sebelumnya.

"Dira, bagaimana jawabannya, Nak?" Papah mengelus puncak kepalaku penuh kasih sebelum akhirnya mengacungkan jempol kepada Paman.

Tatapanku spontan melirik ke arah Kak Ikhyar yang terlihat menaruh harapan besar padaku. Aku semakin gugup luar biasa. Hatiku sedikit cekcok dengan logika yang ada. Dari sekian banyak perempuan, mengapa harus aku? Apakah di universitas Islamnya itu tak ada perempuan yang mampu memikatnya lebih dari diriku yang ilmu agamanya masih cetek ini?

"Jawabanku adalah ...."

⤵️⤵️⤵️

Semua orang menatapku penuh tanda tanya, menunggu jawaban apa yang sekiranya keluar dari mulutku. Aku masih menunduk dalam diam, memikirkan nasib hatiku yang sedang berada di ujung tanduk. Tak kuasa menahan sesak, helaan napas kasar terus keluar dari mulutku.

"Afwan, Kak, saya tidak bisa menerima lamaran ini karena ada beberapa alasan yang tidak bisa diutarakan."

Raut wajahnya yang semula ceria, kini berubah menjadi lebih murung dengan tundukkan kepala yang terlihat jelas. Matanya kini menatap penuh minat ke arahku, berupaya menyorotkan sebuah keinginan yang bagaikan angin lalu saja.

"A–apa tidak bisa kamu pikirkan dulu? S–saya siap menunggu jawaban pastimu kapan pun itu."

Aku menggelengkan kepala tipis. Tidak! Tekadku sudah sangat bulat. Memang benar jika aku mencari lelaki Qurrota'ayun, yang bisa menjadi penenang baik bagi mata ataupun hati, tapi saat melihatnya, justru aku merasa risi dan tak bisa melakukan apapun selain menunduk dan berdoa agar ia cepat-cepat pergi meninggalkan rumah ini.

"Bukankah jika ada lelaki yang baik agamanya datang pada seorang perempuan, maka perempuan itu tidak boleh menolaknya?"

"Kata siapa?" Paman langsung merespon ucapannya dengan nada yang cukup tinggi. "Sombong!"

Aku terkejut kala mendengar ucapan yang keluar dari mulut beliau. Terdengar agak sarkas dan menegangkan. Tidak biasanya Paman berkata demikian. Dan ternyata yang terkejut bukan hanya diriku, tapi semua yang hadir di ruang tamu ini.

"Seorang lelaki shalih tidak pernah sedikit pun mencap dirinya sebagai seorang yang shalih, yang agamis, atau bahkan yang baik akhlaknya. Ummu Hani binti Abu Thalib bin Abdul Muthalib, Dubaah binti Amir bin Qurat, dan Safiyyah binti Bashamah bin Nadla merupakan jajaran orang yang pernah menolak lamaran Rasulullah. Dan apakah itu sebuah kesalahan yang fatal? Tidak! Memang akhlak dan agama menjadi acuan utama dalam menerima lamaran lelaki, tapi hal tersebut tidak menjadi larangan untuk menolak lelaki yang memenuhi kriteria tersebut." Ucapan Paman mulai lebih tenang dari yang sebelumnya.

"Dan kamu ...." Paman menatap ke arahnya lebih fokus. "Kamu dengan Rasulullah apakah sebanding? Rasulullah orang yang benar-benar baik akhlaknya saja tak pernah mengklaim hal seperti itu. Kenapa kamu bisa berkata demikian? Nak, ingat! Setan sedang membisikkan kesombongan pada dirimu."

Paman kini mulai duduk di sebelahnya seraya merangkul. "Jangan karena kesombongan dalam berbicara itu membuat semua amalan shalih yang kau lakukan jadi sia-sia, Nak Ikhyar. Fokus perbaiki dirimu dahulu untuk menjemput sesuatu yang baik. Intropeksi apa yang perlu diperbaiki dari dirimu. Karena kita tidak akan tau, kita akan masuk surga dengan amal yang mana atau justru masuk neraka dengan kecerobohan yang tak pernah kita hiraukan."

"Nak Ikhyar,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ (Janganlah engkau marah, niscaya bagimu surga). Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abid Dunya ini sering kita dengar, 'kan? Nak, Paman memang tidak terlalu tahu tentang dirimu, tapi ada satu hal yang harus kau perbaiki. Jangan cepat marah! Bersabarlah dan mulai berdamai dengan orang-orang di masa lalu. Seberat apapun masalahnya. Dan jangan sampai masalah sepele kau besar-besarkan hingga akhirnya menciptakan sebuah permusuhan. Dampingi ilmu agama dengan akhlak yang baik. InsyaaAllah, semua akan berjalan dengan baik untuk kebaikan di dunia dan di akhirat."

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang