Sebelum ke ceritanya, aku mau menengadahkan tangan seraya mendoakan kepada para pembaca, pemberi vote dan komentar, agar selalu dilapangkan rezekinya, diberikan kesehatan selalu, dijauhkan dari wabah yang tengah hadir di tengah-tengah kita ini, dan selalu dipermudahkan di setiap urusannya. Aamiin Ya Allah Ya Rabbal 'Alaamiin.
Dan selamat membaca!
🦉👀🦉
"Kok lama?" Muhzeo menangkap lemparan botol minuman yang kulempar ke arahnya.
Aku hanya tersenyum saja. "Sedikit kendala," sahutku.
Beruntunglah ia tak mengambil pusing dengan mempertanyakan hal yang sebenarnya terjadi. Sepertinya pekerjaan di sini hampir selesai. Terlihat dari beberapa mahasiswa yang mulai menenteng tas untuk pulang.
"Udah selesai, ya?" tanyaku sembari meneguk minuman dan mengelap keringat.
"Huh, kamu pergi lama banget. Ya sudah selesai. Besok aktornya mulai datang. Semoga aja dia enggak ada minat sekalipun untuk deketin kamu."
"Uhuk!"
"E–eh?" Ia melihat ke arahku sembari bingung ingin membantu menepuk pundak atau tidak.
"Kenapa tiba-tiba uhuk ... bicara begitu, sih? Aneh-aneh aja. Cape lama-lama ngurusin kamu yang selalu cemburuan." Aku memalingkan wajah darinya. Entah sampai kapan ia terus seperti anak kecil seperti ini.
"Huft ...." Helaan napasnya membuatku langsung menoleh. "Aku sebetulnya juga tidak ingin cemburu berlebihan seperti ini, Dir, tapi aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu." Ia tampak sedikit tersenyum sembari mengusap wajahnya.
Aku menatap langit-langit aula. "Apa yang ditakdirkan untuk pergi, tetap akan pergi. Apa yang ditakdirkan untuk menetap, tetap akan terus menetap. Manusia boleh berencana, tapi Allah lah yang memutuskan suatu perkara." Aku berdiri dari dudukku.
Mataku spontan menatap ke arahnya. "Aku mau break."
Muhzeo membelalakkan mata sembari bangkit berdiri dan menatapku dengan bingung. "Ma–maksudnya apa?"
Aku tersenyum ringan. "Aku mau kamu belajar dewasa, Ze. Aku juga lelah untuk selalu memaklumi sifat cemburu kamu itu." Aku menoleh ke arah lain. "Kalau cemburu kamu berlebihan, itu tandanya kamu tidak mempercayai pasangan kamu sendiri. Cobalah untuk belajar dewasa. Aku marah seperti ini bukan karena kamu melakukannya baru sekali, tapi karena kamu terlalu sering berbuat kesalahan seperti ini."
Tanganku mulai menggapai tas dan tatapanku mengarah kepadanya lagi. "Kalau kamu belum bisa atur rasa cemburu yang berlebihan ...." Kugantungkan ucapanku seraya tersenyum ke arahnya. "Langsung temui saja Mamah dan Papahku setelah kita sama-sama dewasa dan siap membangun rumah tangga."
Tanganku tiba-tiba saja refleks menepuk bahunya. "Aku pulang sendiri. Assalamu'alaikum."
"Wa–waalaikumussalam."
Aku terpaksa mengambil langkah demikian. Namun, hal ini jelas-jelas sudah kupikirkan matang-matang dari jauh-jauh hari. Aku tidak ingin kalau rasa cemburunya semakin parah dan berakhir menjadi pertengkaran hebat. Aku hanya ingin dia lebih dewasa dalam menyingkapi hal ini. Sudah itu saja.
Langkah kakiku mengarah ke halte bus untuk menunggu kendaraan umum di sana. Hatiku memang tak rela. Terlebih lagi bila nanti tiba-tiba saja dia memilih untuk mencari yang baru. Ah, tapi prinsipku sekarang adalah yang pergi tetap akan pergi dan yang tinggal tetap akan tinggal. Sudah selesai.
"Dira?" Aku menoleh saat melihat seorang yang menggunakan helm ojol mendekat ke arahku.
"Eh, Abid, ya?" Aku tersenyum ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
KorkuTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...