Stop!
Jangan lupa vote sebelum membaca. Jika kamu ingin dihargai, maka hargailah orang lain terlebih dahulu. And I say, happy reading, Readerswey-ku 💚👀
Dira POV.
Sudah dua hari yang lalu aku tersadarkan dari koma selama beberapa jam. Kehabisan darah dan ketakutan yang tinggi bisa berakibat semengerikan itu rupanya. Kini aku baru saja sampai karena baru diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Yeah, dengan kata lain aku harus istirahat total dua hari kemarin di rumah sakit. Beruntunglah kini badanku sudah sangat terasa segar walaupun masih agak nyeri di beberapa bagian.
Tentang Aldi, dia masih menghantuiku. Baik dalam bentuk pikiran atau juga penampakan wajah, tetapi untuk kali ini bisa terbilang aman selama dibacakan doa. Semoga saja arwahnya segera pergi, ya.
Tok ... tok ... tok ....
Aku yang tengah termangu, kini melemparkan arahan mata ke arah pintu kamar yang diketuk dengan halus.
"Masuk," sahutku dengan suara pelan karena masih belum bisa seceria biasanya.
Ceklek ....
Anak laki-laki itu. Yeah, dia yang kini mulai menghiasi hari-hariku lagi. Bocah kelas dua SMP yang baru saja memulai sekolah lagi, kini tersenyum hangat ke arahku.
"Kak Dira makan dulu, ya. Ini Arter bawakan bubur, tapi kata Mamah enggak boleh pakai sambel dulu. Takut sakit perut." Begitulah ucapannya sembari menaruh nampan yang berisikan bubur juga susu putih full cream yang selama dua hari ini wajib kukonsumsi.
Arter. Sebutan baruku untuk dirinya. Aris yang mirip sekali dengan Tere ini kini sudah kuubah namanya menjadi perpaduan nama antara Aris dan Tere. Lucu dan menggemaskan. Aris terlihat menyukai nama barunya. Walaupun hanya sebatas panggilan sayang dari keluarga kami, ya, keluarga barunya.
"Terima kasih, Arter. Kau sudah makan?" tanyaku sembari menyuruhnya duduk di tepi ranjangku. Rasa-rasanya hari ini sangat membosankan karena harus terus-menerus menetap di rumah.
"Sudah, Kak. Kak Dira bisa makan sendiri? Atau mau Arter suapi?" Arter menatapku dengan begitu lembut. Ah, mengapa bayangan Tere benar-benar bersemayam di tubuh Arter?
"Badanku masih lemas. Suapi, ya," pintaku dengan sedikit kekehan kecil.
Arter tertawa dan mulai mengangguk. Ia mengambil mangkok itu dan berniat mengaduk isi buburnya.
"Eh, jangan!" pintaku yang membuatnya berhenti dan menatapku.
"Aku bukan tim aduk kalau soal makan bubur," ucapku yang langsung membuatnya sedikit tertawa.
"Oh, baiklah. Arter kira ada apa." Arter menyendokkan sesuap bubur dan mengarahkannya pada mulutku.
"Cepat sembuh, Kak. Kasihan Kak Muhzeo murung terus." Arter tersenyum sembari menyiapkan sendok berikutnya.
Aku menatap matanya dengan raut wajah bingung. "Kamu tau darimana dia murung terus?"
"Aku kan disekolahkan di dekat kampus kalian berdua. Mamah selalu nyuruh Kak Muhzeo untuk antar aku ke SMP. Ya, diperjalanan dia diam saja dan ketika hendak berpisah, dia hanya tersenyum kecil. Saat menjemputku di halte sekolah pun dia selalu melamun."
"Sampai sebegitunya?"
"Ya, memang begitu adanya." Arter menyuapkan sesendok bubur lagi ke arahku.
"Tapi rasa-rasanya badanku sudah terasa enak. Mungkin seharian di kasur akan membuat tulangku bertambah lembek." Ucapanku itu langsung membuat Arter tertawa cukup keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisikan Maut ✓
TerrorTak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku tergerak untuk membantu. Ditemani oleh The Genk of Pembasmi Syaiton, kami siap mengungkap semua hal m...