⚡ BAB 22

32 24 31
                                    

Ragu dan bimbang membawa penasaran.

__________
🐣 Warning! Cerita ini terdapat banyak kata-kata kasar. Bijaklah dalam membaca. 🐣

Selamat membaca.
Silakan komen dan diakhiri vote.
__________

Pagi ini murid-murid sibuk sekali. Ada yang mencoba mengingat apa yang sedang dipelajarinya dengan cara membolak-balik halaman buku dengan kasar. Ada yang mencatat ke bangku, ke tangan, bahkan ke kertas yang sudah dibuat kecil-kecil. Ada juga yang tidak peduli yang kerjaannya main game. Ada yang santai. Ada yang resah. Dan ada juga yang sedang tidur. Ya,  hari ini ujian tengah semester resmi dilaksanakan.

Kelas XI IPA-2 tidak ada bedanya. Mereka dominan sibuk akan mencatat di segala tempat yang memungkinkan tidak akan diketahui oleh guru. Jangan heran, walau sekolah ini penuh dengan kebobrokan, jika waktu ujian, penjagaannya terbilang ketat.

Dafka terlihat menghampiri satu persatu teman-temannya seraya menyilangkan jari kelingkingnya. "Aha! Lo udah janji bakal ngasih gue contekan. Awas lo kalo ingkar janji."

"...." Baik. Mari kita sebut sebagai paksaan.

Di sisi lain, Ara sedang mencatat yang menurutnya penting di buku kecil untuk ia hafalkan. Di sampingnya, Lia ... ia tidak berbuat apa-apa, hanya saja sedang memikirkan bagaimana rambutnya akan ia tata kali ini. Terbukti dengan cermin, sisir, dan ikat rambut motif macan yang ada di hadapannya.

Sedangkan Kafka, matanya awalnya mengikuti gerak-gerik Dafka yang terus saja mempermalukan diri sendiri. Karena merasa muak, ia pun mengalihkan pandangannya ke Lia--kucing garong kesayangannya. Bagaimanapun, ia harus bisa mendapatkannya.

"Nggak usah mikir mau digimanain. Iket biasa aja udah cantik, kok." Kafka duduk di kursi di depan bangku Lia. Kursi itu bukan kebetulan kosong, tapi Kafka menyeret orang yang tadi duduk di situ.

"Mn, makasih. Mata lo belum rabun," balasnya. Namun matanya masih saja terpaku pada cermin.

Kafka menopang dagu. "Karena gue udah muji, bolehlah ntar bagi contekan."

Mata Lia menatap Kafka sekilas sebelum sibuk menyisir rambutnya untuk membuat kepangan. "Bukannya cowok nggak ribet sama yang namanya ujian?"

Tiba-tiba sebuah ide terlintas di otaknya. Ia langsung mengangguk. "Oke, gue setuju. Tapi, satu contekan berarti satu hari nggak ganggu gue."

Kafka terdiam hingga Lia selesai mengepang rambutnya ke samping kanan. Hasilnya rapi seperti sudah ahli. Kafka puas melihatnya.

"Lagi mikir?"

Kafka menggeleng dan bibirnya tersenyum miring. "Nunggu lo selesai ngepang."

Lia melirik rambutnya sendiri. "Terus? Lo setuju?" ia merasa jika dirinya lama-lama menjadi bodoh karena meladeni omongan Kafka yang ribet seperti ini.

"Eum... itu pilihan yang sulit. Jadi..." Tangan Kafka menyentuh kepangan Lia dan manariknya hingga ke depan mulut, kemudian bibirnya mencium tepat di ikat rambut Lia. Setelahnya, ia menatap Lia dengan tatapan jahil. "Mimpi aja, sayang."

Lia terus diam menatap Kafka yang sudah kembali ke bangkunya. Karena di tatap, beruang madu itu pun mengedipkan sebelah matanya. Barulah Lia memalingkan muka dengan muram.

"Kenapa dia cabul gitu?" Ara mendekat.

Lia tidak merespon. Ia terheran kenapa Kafka nekat melakukan ini semua.

Bel berbunyi. Ujian pun dimulai.

"Lo tenang banget sih dari tadi?" Dafka akhirnya balik ke bangkunya.

TROUBLE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang