⚡ BAB 5

150 87 54
                                    

Pertanda buruk mulai terasa.
_

_________
Warning! Cerita Ini Terdapat Kata-kata Kasar, Bijaklah Dalam Membaca.

Selamat membaca
Vote Dulu Yuk Habis Itu Komen
__________

"Bajingan, dia pikir dia siapa? Anaknya presiden? Pangeran kerajaan? Orang kayak modem eksternal aja bikin rusuh." Inilah yang ke sekian kalinya Lia marah-marah karena bendera peperangan dikibarkan oleh Kafka. "Gue sadar gue emang banyak bacot. Tapi dia juga harus sadar diri, gue bahkan nggak sama sekali ganggu hidupnya."

"Kita nggak perlu ganggu hidupnya. Suara kita kedengeran aja pasti dia udah merasa keganggu." Ara menimpali. Raut wajahnya juga tidak sedap dipandang. Seperti biasa, jika soal marah-marah ... Lia-lah yang selalu mendominasi. "Lagian salah lo juga mau ikut aja cuma karena traktiran, ini nih ganjarannya yang demen hianatin gue."

Lia menoleh. "Woah, liat sekarang siapa yang ngomong."

"Satu lagi, yang dihina itu gue tapi kenapa malah lo yang kesel, nggak terima kayak gini udah kayak cacing kepanasan aja." Ara berujar lagi dengan nada dingin.

"Kuping lo tuh yang bermasalah. Jelas tadi dia bilang mereka," balasnya tidak terima.

Ara mengarahkan duduknya menghadap Lia. "Gara-gara nggak keterimaan lo ini, gue bahkan nggak dikasih kesempatan buat marahin dia juga."

Lia sekarang mengernyit tidak suka. "Seharusnya lo langsung bacot aja. Yakali gue udah marah kayak gitu masih harus bilang 'giliran lo'. Udah tau juga marah gue hasil provokasi."

Ara mendengkus jengah. "Dan berakhir gue ngenes? Ogah! Gue tau kelakuan ajaib lo."

"Ya, terus gimana? Mau lo ini gimana? Udah terjadi, percuma marah-marah."

"Ngaca, lo yang dari tadi meledak-meledak bikin panas kuping gue aja."

"Lia sayang." Jae bersuara. Ternyata ia sudah membuntuti keduanya dari lantai bawah. Dan sekarang ia sedang uji nyali dengan berupaya menghentikan pertengkaran yang kini sudah berubah arah targetnya.

"Marah tapi diem. Bodoh namanya."

"Lo ngatain gue bodoh?" alis Ara mencuat.

"Lia, Ara." Jae kembali memanggil.

"Liat, liat, liat. Lo kayak gini mulu setiap gue maju ngebelain lo." Dan Lia bahkan sudah mulai menunjuk-nunjuk.

"Gue nggak pernah minta dibelain!"

"Ya udah urus aja sendiri. Kalo kalah bacot jangan ngerengek ke gue!"

"Lia, Ara--"

"APA, SIH?!" Lia dan Ara langsung membentaknya.

Jae tersentak sesaat. Namun siapa sangka selanjutnya ia akan tersenyum cerah.

"Berani lo bikin gue tambah kesel." Matanya menatap Jae dengan tajam. Tangannya bergerak membawa sesuatu dari kolong meja dan ... brak! Sebuah gunting sudah berada di sana. "Gue nggak peduli ini benda tumpul atau tajam, tapi gue pastiin lontong lo bakal gue babat habis."

Jae mengerjap.

Lia menggerakkan matanya--menyuruh Jae untuk segera pergi.

"Ah, si brengsek itu lagi. Seharusnya dia ngomong begitu setelah selesai makan. Sia-sia traktirannya." Ara kembali mengomel setelah Jae pergi.

Lia memandang tak percaya pada sahabatnya itu. "Tadi aja lo sok jual mahal nolak traktiran, parahnya malah marahin gue lagi."

Ara hanya meliriknya dan mendecakkan lidah. Sepertinya kemarahan ini telah berakhir. Dan untungnya, pertengkaran memalukan ini ... hanya Jae yang satu-satunya menjadi saksi.

TROUBLE  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang