Perjuangan

1.9K 614 60
                                    

Kaki gadis itu menapaki trotoar di jalanan kota Bandung. Alun-alun saat itu belum menjadi versi anyar. Hanya walikota Bandung sudah berganti oleh Bapak Ridwan Kamil.

Di tangan Fany ada sebuah kotak berisi roti-roti yang ia buat sendiri. Sudah seminggu ini dia jualan. Awalnya sempat banyak orang protes akibat rotinya yang mahal. Hingga ia mencoba menawarkan pada penjaga toko juga pegawai kantor sekitar jalan Asia-Afrika.

Berhasil! Besoknya saat Tiffany lewat, ia langsung dipanggil dan rotinya diserbu. Bahkan protes tentang harga berganti jadi protes akibat jumlah rotinya yang tak sesuai konsumen. Banyak yang mengeluh tak kebagian varian yang mereka sukai.

Lama-lama Tiffany jadi repot sendiri. Ia harus membuat juga menjual. Di rumah bunda ikut membantu, tapi urusan membuat tentu hanya Tiffany yang bisa.

Baru berjalan dua toko, sisa roti yang tadi diserbu pekerja kantoran laku dalam sekali menurunkan kotak. Jam tangan sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Mulai ada penurunan waktu dagang dibandingkan kemarin yang habis pukul satu.

"Buka toko atuh, teh," saran konsumennya.

Senyuman Tiffany terkembang. "Belum ada modal. Jual kecil-kecilan saja dulu. Nanti sudah kekumpul baru buka toko," jawabnya.

Ia harus berjualan di tengah kota akibat sulit menjual roti mahal di sekitar rumahnya. Bahkan beberapa toko roti brand ternama banyak yang tutup di sana.

Langkah berat tadi berubah senang. Ia melompat beberapa kali karena senang jumlah omzetnya bertambah meski belum sampai satu juta sehari. Itu memang sudah resiko menjual roti di atas rata-rata. Maklum, ia menggunakan terigu kualitas tinggi, tanpa ragi dan pasti memiliki aroma wangi dari sari buah anggur untuk roti manis dan kayu manis untuk roti asin.

Berniat menunggu bis di perempatan Jalan Kepatihan, Tiffany kaget melihat seorang wanita duduk di trotoar sambil memegangi kakinya yang kesakitan. Dengan rasa kemanusiaan, Fany menghampirinya.

"Teteh, gak apa-apa?" tanya Fany sambil memeriksa lengan juga kaki gadis itu. Ia lihat luka memar di lengan juga luka lecet di kaki.

"Tolongin, teh. Saya diserempet motor tadi," jawabnya sambil mengaduh. Fany berusaha untuk sigap. Pernah tinggal di negara maju, ia tahu jelas cara menghadapi keadaan genting. Lekas Fany memanggil panggilan darurat dari ponselnya.

Tikungan jalan ini memang agak tajam sehingga jika tidak hati-hati akan membahayakan pengguna jalan. Karena itu, trotoarnya dibuat lebih tinggi. Hanya kasus wanita ini, dia berusaha menyeberang tepat ditikungan.

"Maaf, teh. Saya bikin repot," ucap wanita itu itu.

"Teu sawios (gak apa-apa). Kebetulan sudah selesai dagang, mau pulang," timpal Fany.

Ambulan tak lama datang, Fany ikut membawa wanita itu ke rumah sakit. Tiba di sana, korban sempat mengadu takut biaya perawatan mahal. Katanya ia baru datang ke Bandung untuk mencari kerja dan seminggu di sini belum juga mendapat pekerjaan.

Syukur pihak rumah sakit menggratiskan biaya perawatan karena ia korban kecelakaan. Hanya banyak hal yang perlu Tiffany urus sebagai saksi. Termasuk laporan pada pihak kepolisian agar asuransi dari Jasa Raharja bisa cair.

Nama korban Tuti. Dia pendatang dari daerah Kota Garut. Berniat datang untuk memperbaiki nasib, sayang ia malah celaka.

Tiffany menuntun wanita itu keluar dari ruang perawatan. Ia harus berjalan copak-capik akibat kaki kirinya patah. "Saya antar pulang saja, ya? Teteh Tuti tinggal di mana?" tanya Fany.

"Jauh, Teh. Daerah Bandung Timur. Ke sini karena nyari kerja di sana juga gak ada. Tadinya ingin di pabrik," jelasnya.

Kebetulan sekali mereka satu tujuan. Fany menatap kotak roti yang sudah kosong. "Biar sekalian saya pulang juga. Kebetulan rumah saya di sana," tawar Tiffany lagi.

Manusia tak pernah tahu kenapa ada sebuah pertemuan meski itu tanpa kesengajaan. Pertemuan itu rupanya memanjangkan tali persaudaraan antara Tiffany dan Tuti. Bulan demi bulan berlanjut dan usaha rotinya semakin maju. Tuti yang belum juga dapat pekerjaan akhirnya membantu Tiffany berjualan.

Tiffany awalnya masih berjualan berkeliling bersama Tuti. Hanya, dari sepanjang Asia Afrika, mereka mulai menambah jarak ke Gatsu dan Jalan Sunda. Lama kelamaan, omzet semakin bertambah dan ia beranikan diri berjualan dengan stand dekat simpang lima.

Awal jualan menetap tentu penghasilan agak berkurang. Tuti berinisiatif tetap menjualnya secara berkeliling. Semakin lama mereka punya ide untuk menambah jasa antar. Hanya satu, yang selalu Tiffany pegang. Ia lebih baik menaikan harga roti daripada menurunkan kualitas.

Masyarakat Bandung lebih kritis. Mereka mulai memiliki daya beli yang tinggi. Apalagi anak muda. Dalam satu tahun, akhirnya gadis petualang itu memiliki toko sendiri di dekat Jalan Veteran.

"Teh Fany! Roti srikayanya abis," teriak Tuti dari etalase depan. Tiffany yang berada di dapur lekas mengambil satu box roti untuk diantar ke depan.

"Biar Sultan saja, Teh. Fokus saja sama adonan," tawar Sultan. Pria itu mengambil box dari Tiffany dan membawa roti-roti itu ke toko depan.

Fany melihat sekeliling dapur tokonya. Ada empat karyawan; dua yang membantu di dapur dan dua berjaga di depan toko. Permintaan mulai naik. Lebih dari itu, kemajuan internet seperti adanya blog hingga bermunculan media sosial membuat semuanya semakin mudah. Ia bahkan mulai mengirim roti untuk pesanan ke luar kota.

Le Pain, nama brand roti itu terpasang cantik di depan tokonya. Sengaja Tiffany mendesain toko dengan gaya Prancis agar lebih menarik konsumen. Beberapa bahkan mengambil foto selfie di sana untuk diunggah ke media sosial.

Tak perlu designer. Memori tinggal di Prancis selama dua tahun membuat ia berhasil menata sendiri ruangan di toko. Modal untuk mendesain logo sudah lumayan menguras dompet.

"Teh, jadi nyari pegawai baru? Kita sudah sulit loh nerima pesanan," keluh Tuti.

"Rencananya begitu. Hanya susah nyari yang mau kerja di toko. Gajinya belum bisa aku kasih banyak. Daripada nyari pegawai baru, mendingan gaji kalian di atas UMR," jawab Fany. Tuti mengangguk.

Mereka selalu sibuk di pagi, siang dan malam hari akibat konsumen datang hingga mengantri. Bahkan di luar sampai harus menyediakan kursi duduk. Kue spon, croissant dan macam roti lainnya Tiffany jual. Hanya saja croissant yang paling laku. Apalagi rasa vla durian yang dicampur ketan hitam.

"Teh! Ada yang nyari di depan!" panggil Sultan. Tiffany mengangguk. Ia membuka celemek dan berlari ke depan toko. Diantara pengunjung, ia terpaku dengan banyaknya balon gas yang dipegang salah satu pengunjung. Tawa Tiffany berkembang. Ia hampiri pengunjung jahil yang menyamar jadi tukang balon gas itu.

"Daniel!" panggil Tiffany. Wajahnya berbinar akibat sudah hampir setahun tak melihat pria itu.

"Selamat ulang tahun juragan roti!" ucap Daniel sambil memberikan satu balonnya. "Empat hari lalu aku baru nerima ijazah," tambah Daniel sambil memberikan balon lainnya.

Tiffany dengan polos menerima balon itu. "Kasih selamat dulu," pinta Daniel .

"Iya, selamat calon pejabat!" ucap Tiffany. Lagi, ia mendapat balon dari Daniel.

"Semuanya!" protes Tiffany. Daniel tertawa dan memberikan semua balon itu.

"Kuenya mana?" pinta Tiffany sambil mengulurkan tangan.

Daniel mendecakkan mulutnya. "Bikin sendiri, kek. Kamu itu tukang kue," tolaknya.

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang