Jangan simpan harapanmu di awan! Dia tidak akan memberikanmu kepastian. Mungkin ia akan menurunkan hujan. Bagaimana jika hanya virga yang ia berikan?
Untuk ia yang ingin meninggalkan kemarau, ketika tetesan hujan mulai turun, doanya ... itu akan berlangsung lama. Namun, ada satu peristiwa saat tetes-tetes yang ditunggu menguap di atmosfer sebelum jatuh ke permukaan. Orang memanggilnya virga, fenomena yang berdampak buruk bagi dunia penerbangan. Pesawat yang mengantarkan angan-angan manusia menuju tempat tujuan, batal terbang karenanya.
Cinta bagi Tiffany Anggraeni Putri adalah awan, tempat di mana ia menggatungkan harapan agar cinta itu turun dalam pelukan dan menghapus kerinduan. Meski ini Oktober sepertinya hujan tak turun. Sebelum rindu itu terobati, cinta tak kembali. Harapan Tiffany hancur, pesawatnya terjebak tirai virga yang menjuntai dari awan hingga menggapai permukaan tanah. Tirai berupa undangan yang tertulis nama Dylano Khani dengan wanita yang bukan dirinya.
Hanya ada pohon caringin sebagai tempat ia bersandar. Lengannya yang panjang memeluk lutut. Gadis itu terduduk dengan tatapan kosong ke arah jalan. "Aku masih di sini karena janjimu akan kembali, tapi ternyata kamu mengingkari dan meninggalkanku selamanya. Lalu untuk apa aku di sini?"
Gadis bermata coklat dengan garis mata membentuk almond itu mengganti tujuan. Dari menanti kekasih yang sedang menempuh gelar di New York, kini menanti jalanan sepi dan kendaraan bernafsu untuk menekan gasnya kuat-kuat.
Dipati Ukur Wangsanata pasti akan kecewa, karena salah satu keturunan dari rakyatnya memilih mati sia-sia karena cinta, sementara beliau berjuang demi kemerdekaan tanah pasundan. Bahkan niat itu muncul tepat di sisi jalan yang menyematkan namanya.
Angin bertiup menyentuh rambut hitam lurus Tiffany. Air mata yang mengalir sepanjang jalur pipi mulai mengering dan berganti dengan air mata baru. "Maafkan Tiffany, Ayah. Tiffany tak sanggup hidup tanpa dia."
Cafe yang berdiri sepanjang jalan itu mendadak sepi, seakan keadaan mendukung keinginan Tiffany. "Jika aku mati, sakitnya hanya sekali. Namun kepergian Dylano akan membuatku sakit seumur hidup." Gadis itu sudah terbutakan asmara. Ia kecewa dengan tiga tahun yang ia lalui sendiri hanya untuk memenuhi janjinya pada Dylan.
Senja berubah malam. Kesepian mulai datang tat kala kendaraan-kendaraan sudah mulai tiba di tujuan, meninggalkan jalanan tanpa para petualang. Tubuh tinggi dan langsing itu mulai bangkit. Di tangannya masih terpegang erat sebuah undangan berwarna biru dengan hiasan gambar kupu-kupu. Satu per satu kaki bergerak maju, menapaki jalan menuju niat yang ingin dipenuhi.
Dari kejauhan terdengar suara knalpot bising. Dari suaranya saja sudah bisa ditebak berapa cepatnya ia melaju. Tiffany mulai menyiapkan diri untuk berlari memotong jalan kendaraan itu.
Daniel sudah bisa meramalkan apa yang akan terjadi. Ketika latihan grup paduan suara selesai, Tiffany berjalan sendiri keluar gedung pertunjukkan. Daniel melihat setiap adegan dari Mira yang memberikan Tiffany sebuah undangan dan Mira sebut itu dari Dylano Khani hingga langkah lemah Tiffany menuju tempat di mana ia kini berdiri menunggu saatnya mati.
Jika saja Daniel tidak tahu siapa Dylano dan artinya bagi Tiffany, ia tidak akan mengikutinya sejauh ini. Detik demi detik Daniel berharap gadis itu bisa memikirkannya lagi. Namun ketika gadis itu siap menabrakkan diri, Daniel tahu niatnya sudah pasti. Pria itu harus menghentikan semua sebelum nyawa seorang gadis baik hati hilang karena kebutaannya akan cinta.
Daniel berlari, tangannya dengan cepat menarik Tiffany ke sisi jalan. Ia bisa rasakan punggung sakit terbentur sisi trotoar. Tak apa, asal gadis itu selamat. Pengendara motor yang hampir menjadi pelaku penabrakan memaki. Syukur pengendara itu tidak berhenti dan membuat perhitungan dengan keduanya. Ia hanya berhenti sejenak dan meneriakkan kata-kata tidak enak.
Kelopak mata Tiffany turun dan bibirnya mengernyit ke bawah. Dalam pelukan Daniel, ia melepas niatnya yang berlari pergi. "Syukur masih sempat!" seru Daniel lega. Gadis dalam pelukannya berbalik menatap Daniel tajam. "Jangan gegabah! Pulang sana!" bentak Daniel sambil menepuk celananya yang kotor ditempeli debu.
Pria itu masih mendapat tatapan tajam dari gadis yang ia tolong. "Ayah kamu cuma tukang gorengan. Beliau simpan masa depan keluarga di pundakmu. Bagaimana beliau nanti kalau tahu anaknya mati hanya karena ditinggal kawin?"
Suara gemuruh menggelegar. Langit sepertinya kesal karena tidak jadi turun hujan meski di atas sana ia sudah ditutupi awan. Tiffany bangkit. Wajahnya mendongak agar tatapan mata bisa sejajar dengan Daniel yang lebih tinggi darinya.
"Kamu tahu apa sampai berani menasehatiku begitu?" Kerasnya suara Tiffany sampai memecah keheningan di ujung jalan menunju kampus mereka.
Daniel meneguk air liurnya. Hidungnya menghirup udara dalam-dalam. "Apa kehilangan pria seperti Dylano harus membuat kamu kehilangan nyawa juga? Bukan Dylano yang melahirkanmu, bukan dia juga yang membesarkanmu. Yang melakukan itu orangtuamu. Pernah berpikir bagaimana perasaan mereka melihat kamu sekarang?"
Tiffany mengigit bibir bawahnya. Ia benci karena apa yang dikatakan Daniel benar. "Kalau begitu kembalikan Dylano padaku," pintanya lirih seperti kehilangan energi.
"Jika dia ingin pergi, biar pergi saja. Memang apa gunanya dia? Jika dia cinta, ia tidak akan mengirimkan undangan ini padamu!"
Jemari Tiffany tanpa sadar melepas undangan yang sedari tadi ia pegang. Daniel meraih tubuh yang sudah hilang arah itu, ia tepuk punggungnya hingga sedih mulai berwujud kembali menjadi air mata. "Kita punya kesempatan hidup hingga enam puluh tahun. Masih tersisa tiga puluh sembilan tahun bagi kamu untuk menemukan cinta sesungguhnya. Mungkin bukan Dylano, tapi pria lain yang akan menyembuhkan luka di hati kamu sekarang."
Tangan Tiffany mengepal. Tangisnya pecah, terisak, menggambarkan sedalam apa jiwanya terluka. Tubuh Daniel menjadi saksi ketika pukulan demi pukulan lemah menghantamnya. "Kenapa ia permainkan hati gadis lemah seperti aku?"
Daniel tidak menyalahkan perasaan Tiffany. Bertahun-tahun gadis itu dilindungi Dylano. Ia semakin bergantung, apalagi ketika teman dan kebahagiaan datang seiring kebersamaannya dengan pria berahang tegas yang mampu menyihir perhatian banyak wanita itu.
Tahun 2011 saat The Leonardo Permanent Multipurpose Module diterbangkan ke luar angkasa, kedua mahasiswa ini masih terjebak dalam rumitnya urusan percintaan.
Peradaban sudah mulai mengucapkan perpisahan pada Friendster dan menyambut kejayaan Facebook. Daniel berharap, Tiffany juga melakukan hal yang sama.
"Kamu hanya terlalu lama sendiri dan menemukan Dylano sebagai teman hidup. Coba buka mata dengan lebar, di depan sana ada banyak manusia yang menghargai kebaikanmu."
Tiffany mengangguk. Ia tenggelamkan wajahnya dalam pelukan Daniel. Ke depannya, mulai hari ini ... tak tahu takdir apa yang akan menautkan keduanya dalam dus sepatu yang sama.
❄️❄️❄️
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)
RomansaPercuma aku mengejar matahari. Dia saja turut kemana aku pergi. Jika malam aku tidur, ia hilang. Begitulah Dylano. Tidak seperti kamu. Tidak jelas adanya kenapa. Perginya juga kenapa. 🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁 Daniel dan Tiffany ditinggal menika...