"Maafkan aku, dunia," ucap Tiffany begitu turun setelah dua puluh menit naik kereta terakhir dari Gare De Valence Ville ke Vienne.
Fany memperbaiki tali tas yang menyampir di bahu. Ia tertegun melihat sebuah benteng besar di hadapannya. Tatanan beton tua yang warna putihnya sudah mulai tergerus waktu dan berubah hitam. Beton seperti ini biasa terlihat menjadi pembatas bendungan. Namun, di sini ia menahan tanah yang lebih tinggi dari stasiun agar tak terjadi urugan.
Kereta mulai istitahat di sana. Seperti wanita yang ada dalam cerita. Ia memutar tubuhnya, melihat bagaimana pemandangan yang yang digambarkan. Vienne, kota dengan produksi kejunya. Keju yang menjadi kesayangan Tiffany dan warga negara ini.
Takjub, memandang ke kanan sebuah benteng tua penahan dan ke kiri ada layar-layar panel yang tergantung pada bangunan bercat krem dan memiliki pintu serta jendela lengkung. Kayu bingkai jendela dicat biru laut. Berdiri di atas lantai tembok stasiun ini seperti berada di dua dunia.
Vienne, nama itu tertulis pada plat biru di seberang sana. Fany berbalik, keluar stasiun yang sepi. "Jika kamu ke luar kota lebih baik pilih hari biasa. Departemen lain akan sepi di akhir minggu. Bahkan toko menolak buka," nasehat Laurace selama Fany dan ia mengobrol di kereta.
Akhirnya Fany kena batunya, ia duduk di depan jendela lengkung yang sangat tinggi. Kursi dengan rangka besi dan dudukan kayu menjadi tempatnya menunggu kini dengan perut yang lapar. Sepi, bahkan hampir terlihat seperti tak ada kehidupan.
"Bagaimana aku bisa menuju tempat Kak Ema?" keluhnya lama menunggu bis di sana. Ia melirik bis surat di samping kanannya. Bis surat itu tergantung di tembok sementara di atas bis surat terlihat lampu neon dengan rangka hitam mengerucut ke bawah. "Apa aku sedang terlempar ke dalam film tahun sembilan puluhan?" tanyanya sambil cekikikan.
Apa yang ia tunggu tiba. Sebuah bis berhenti di halte yang terhalang jalan dari bagian depan Gare De Vienne. Fany berlari menyusuri jalanan aspal yang bersih. Ia masuk ke dalam bis dan menghampiri kondekturnya.
"Apa bis lewat ke tempat ini?" tanyanya sambil memperlihatkan catatan dalam selembar kertas.
"Nanti setelah berhenti di halte yang tepat aku panggil. Kau hanya tinggal naik taksi," jawab kondektur.
Bis itu tak menunggu lama. Dibandingkan mengejar penumpang, bis di sini lebih memilih mengejar waktu agar tepat berhenti pada jam sesuai jadwal di setiap halte yang ia datangi.
Sepi, hanya ada satu atau dua orang yang terlihat berjalan di trotoar. Toko-toko tutup dan satu-satunya tempat ramai hanya gereja. Masyarakat departemen di Prancis memang khusus menjadikan akhir pekan sebagai hari keluarga dan beribadah sehingga jangan harap melihat keramaian pada hari Sabtu dan Minggu di kota-kota lain di Prancis, kecuali Paris.
Fany mengeluarkan permen dari jaketnya. Cuaca berada pada suhu 14° Celcius. Cukup hangat meski nanti malam akan kembali ke angka 2°.
"Waw, apa ini Rhoma?" serunya ketika melihat ke luar jendela ditangkap mata bangunan kuil dengan tiang-tiang di teras dan atap yang berbentuk limas. Bangunan dari bata coklat dan memiliki elemen ukiran khas peninggalan romawi.
"Kota ini dulu merupakan daerah romawi kuno saat dalam pimpinan Julius Caesar," jelas seorang Nenek yang duduk di samping Tiffany. Gadis itu mengangguk mengerti.
"Madame hendak ke mana?" tanya Fany penasaran.
"Saint Maurace," jawabnya. Fany mengangguk. Ia hanya tahu itu gereja karena kata Saint di depannya.
"Kau islam?" tanyanya. Fany mengangguk. Mungkin karena melihat Al-Qur'an di tas Tiffany saat gadis itu mengeluarkan botol minum.
"Asia?" tanyanya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)
RomansaPercuma aku mengejar matahari. Dia saja turut kemana aku pergi. Jika malam aku tidur, ia hilang. Begitulah Dylano. Tidak seperti kamu. Tidak jelas adanya kenapa. Perginya juga kenapa. 🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁 Daniel dan Tiffany ditinggal menika...