Aku Membenci Mitos Ketika Itu Benar

2.9K 739 62
                                    

Lagu hari ini

🎶🎶 Because I'm stupid 🎶🎶
Artis : SS501

☘️☘️☘️

"Lha, sepatu ini kenapa cuma sebelah?" Bunda menunduk sambil memutar pelan tubuhnya mencari-cari pasangan sepatu hitam dengan garis putih di tangan.

Tak ingin Fany ambil pusing tentang sepatu itu. Kamarnya sudah rapi, setelah beberapa hari tidak ada waktu yang cukup untuk menata ke tempat seharusnya.

Tahun ini keluarga itu pindah. Dari kontrakan di gang sempit tanah Cicadas ke rumah sendiri di daerah leher botol Kota Bandung. Masih di dalam gang sempit, yang penting rumah sendiri.

Kamar Tiffany berukuran tiga kali tiga meter, sempit. Bagi gadis itu yang penting punya kamar. Usianya dua puluh satu tahun tapi baru punya kamar sendiri. Jangankan memikirkan luas rumah, saat ayahnya masih jualan gorengan, mendapat empat puluh ribu sehari saja sudah cukup; untuk makan, ongkos sekolah dan sisa ditabung bayar kontrakan.

Karena Davis, Kakak Fany dapat pekerjaan di Malaysia setelah lulus kuliah, mereka bisa membeli rumah ini. Harganya murah karena yang punya dulu butuh uang untuk pengobatan.

"Ini masih bisa kamu pakai, Neng!" Bunda masih belum rela melihat sepatu mahal itu hilang sebelah. Itu sepatu sakti katanya, akibat Fany diterima masuk universitas negeri setelah pakai itu.

"Kalau cuman hiji gimana pakainya, Bun?" Fany malah santai berbaring di kasur. Bunda memukul betis perawan muda itu, lalu pergi ke luar tanpa berkata. Fany menengok ke belakang untuk memeriksa jika pintu sudah tertutup rapat dan bundanya tidak kembali lagi ke kamar.

Sepatu itu tergeletak di atas meja belajar. Hanya sebelah, temannya hilang saat pindahan ke rumah ini. Mungkin tertinggal dan dibuang oleh yang empunya kontrakan.

Fany turun dari ranjang. Kaki panjangnya berjalan pelan ke meja belajar lalu dengan sebelah tangan, ia raih sepatu itu.

"Ini sepertinya sudah jadi pertanda," batin Tiffany. Duduk tubuhnya di atas kursi hijau dengan rangka dari besi dan dudukan busa tipis. "Kalau saja ada alat yang bisa nyocok mata, aku mau beli." Baru ia berkata, bulatan hitam dan putih di kerangka mata sudah nampak berkaca-kaca.

Ini bukan sepatu biasa, tapi ada kenangan indah tersimpan di sana. Bagian dari diri yang terenggut pergi.

Televisi menggantung di sudut koridor sekolah besar dengan lahan luas dan bangunan megah. Semua orang terpaku dengan berita pedih yang menimpa ibu pertiwi. Sabtu pukul enam pagi, gempa mengguncang Yogyakarta. Tidak hanya menitip duka, tetapi juga luka di tubuh dan jiwa.

Mas Arief Suditomo masih membawakan kabar terbaru tentang keadaan pasca gempa. Ke sana mata Fany tertuju hingga tanpa sadar kakinya terpeleset menginjak sisi teras koridor dan terjerembat masuk ke pagar taman kecil. Kaget sudah pasti, ia kontan menarik kakinya. Syukur bukan mata kaki, tapi quarter sepatunya yang robek.

Menyesal akan perbuatannya, Fany duduk lemas di teras. Ia meratapi lubang sepatu yang memunculkan pemandangan kaki di dalamnya.

"Ayah gak mungkin punya uang buat beli yang baru," keluhnya. Harga sepatu NB saat itu memang hanya empat puluh ribu, tapi bagi gadis yang uang jajannya hanya tiga ribu sehari setelah dipotong ongkos, berat rasanya.

Akal Tiffany tak mati hanya di situ saja. Dalam sakunya ada plester luka dengan gambar hati merah muda. Ia tempelkan di bagian berlubang untuk menutupi bagian yang kurang. Setidaknya enak dipandang. Daripada membeli yang baru tak ada uang.

Bagi mereka - teman satu sekolah Tiffay - yang setiap hari kakinya dialasi LA Gear Light kadang berganti Kasogi atau Dragonfly, memakai sepatu NB saja sudah terlihat menyedihkan. Ditambah dengan tambalan plester, sebenarnya mereka tak tahan untuk tertawa dan mengejek. Sayang, yang memakainya punya tameng sekuat benteng.

"Kenapa itu? Lagi in de mode?" Itulah tameng Tiffany datang, berdiri di depan gadis itu dan membuat mata-mata yang senang mencela berpaling arah. Pria itu menunjuk plester di sepatu Tiffany.

Tiffany yang sedang angkaribung menurunkan satu per satu benda di tangannya ke lantai. Meski tahu pria yang tanpa sengaja berpapasan dengannya itu krosboi sekolah, Tiffany tak takut. Sudah setahun ini mereka pacaran. Namanya Dylano Khani, anak chairman perusahaan besar di Amerika yang terpaksa dibuang ke sini karena susah diatur.

"Sobek, tadi kepeleset ke situ," tunjuk Tiffany pada pagar yang jadi pelakunya.

"Didorong orang?" tanya Dylano. Ia selalu siap jotos di tempat jika tahu pacaranya diganggu. Karena itu tak sembarangan Tiffany mengadu.

Tangan Tiffany bergerak-gerak. "Bukan, tadi lihat berita gempa jadi gak sadar jalan."

Usapan lembut tangan Dylano mendarat di kepala Tiffany. Gadis itu menunduk karena tersipu malu. Meski jauh dalam hati masih sulit menerima perbedaan kasta mereka, hati Tiffany berdebar-debar tat kala Dylano dekat dengannya. "Pulang sekolah beli baru. Ya, sayang?" tawar Dylano.

Fany menggeleng. "Gak ada uang, Tuan Muda." Begitu cara Fany memanggil Dylano. Perbedaan kasta membuat ia selalu enggan memanggil nama pacarnya langsung. Dylano bukannya tidak pernah protes, sering dan akhirnya tetap saja begitu.

Pria itu merogoh saku blazer seragamnya. Ada lembaran uang ratusan ribu dari sana, tergulung layaknya lembaran receh seribuan. Tangan Dylano cekatan merapikannya. Ada kira-kira dua puluh lembaran. "Cukup segini?" tanyanya.

Boro-boro menjawab, Tiffany malah mematung. Seumur hidup baru ia lihat tumpukan uang dua juta.

Menolak, pasti. Akhirnya Dylano tetap saja membonceng Tiffany ke istana sepatu. Ia membelikan sepatu eagles hitam bernomor 39 dan satu lagi 43 untuk dirinya sendiri.

"Ambil hikmah, 'kan sepatu kita jadi sepasang," ucapnya sambil memakaikan sepatu baru di kaki Tiffany.

Berakhirlah sudah sepatu yang Tiffany pakai sejak SMA di tempat sampah. Ia mulai menjejaki kaki dengan sepatu pemberian Dylano.

Sejak saat itu, sepatu pemberian Dylano tak pernah absen ia ajak sekolah. Hingga ujian, hingga lulus, hingga wisuda dari SMA Berbudi, tes masuk kuliah dan terakhir memutuskan bunuh diri karena menerima undangan pernikahan dari pemberinya.

Beranjak lulus SMA, Tiffany menemukan mitos dari drama Korea yang kasetnya ia beli dengan uang hasil patungan dengan teman kuliah. Orang Korea percaya, katanya jika memberi sepatu pada pasangan akan membuat pasangan kita lari dengan orang lain. Fany tak peduli dulu, sepatu ini Dylano yang beli dan ia tak ingin lari dari Sang Kekasih. Namun nyatanya terbalik, Dylano yang angkat kaki dari kisah ini.

Sepatu ini jadi pertanda, seperti ia yang hanya tertinggal sebelah, hubungan Tiffany juga pecah. Dylano pergi dan tinggal Fany sendiri.

Tangis masih mengalir seminggu sejak undangan itu sampai di tangan Tiffany. Rindu masih menggulung batin tanpa obat yang bisa menyembuhkannya. Dylano mengakhiri petualangan cintanya bersama wanita itu, istrinya kini. Lalu dengan siapa Fany?

❄️❄️❄️

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang