Roti dan keju memiliki posisi paling tinggi di hati masyarakat Prancis. Pagi di Paris mencium wangi roti seperti mengisi kembali jiwa dengan napas yang baru. "Hmm," suara Tiffany terdengar begitu nyaring di tengah hening pagi itu. Pukul delapan pagi, tapi langit masih berwarna kehitaman di luar sana. Fajar sedang datang menarik mentari kembali ke langit kota mode ini.
"Potongan keju ini enak." Ia mensyukuri hidup di kota yang menyediakannya makanan yang paling ia senangi, keju.
"Dia akan lebih enak ketika dibakar bersama dengan roti," timpal Madame Berenice. Ia menunjukkan cara memasukan keju ke dalam adonan roti lalu menyusunnya di dalam loyang. Tiffany sedikit menyentuh adonan itu, empuk dan berisi. "Bagaimana?" tanya Madame Berenice melihat binar di mata Fany setelah menyentuhnya.
"Adonan ini yang kemarin anda buat tanpa ragi?" Fany melihat setiap inci roti yang telah tersusun kembali dalam loyang baru.
Madame Berenice menunjukkan beberapa adonan yang berjajar di rak resting. "Adonan itu menggunakan bir untuk membuatnya mengembang. Di sampingnya, adonan yang setelah melalui proses pengadonan dibiarkan terekspos udara agar mengembang sendiri secara alami," jelas Madame Berenice.
Kaki Tiffany berjalan menuju rak-rak besi yang sangat bersih karena terbuat dari stainless. Tak ada satu pun bagian yang terlihat berkarat. Roti-roti itu di susun dalam rak susun yang terbuka dan baru saja keluar dari oven untuk dikemas setelah udara panasnya keluar. Ia mengambil salah satu roti yang menggunakan bir sebagai pengganti ragi. Fany tahu ia tak bisa memakannya, dengan merobek saja ia bisa rasakan tekstur roti itu. "Lembut," ucapnya.
Kemudian tangan lentiknya mengambil roti tanpa ragi juga bir. Roti itu ia sobek dan hasilnya benar-benar seperti kapas. "Tekturnya benar-benar lembut. Lebih dari ragi juga bir," komentar Tiffany. Madame Berenice mengangguk.
"Kau sangat penasaran dengan roti. Indra perasamu juga sangat sensitif, lain dengan Laurace." Madame Berenice mengeluarkan sebuah wadah dari stainless. "Kau ingin mencoba membuat sendiri," tawar Madame Berenice. Tiffany tak ingin melewatkan kesempatan ini. Manfaat dari bekerja bukan hanya menghasilkan uang, tapi juga memperoleh ilmu untuk mengembangkan keterampilan.
"Pisahkan adonan basah dan kering," tuntun Madame Berenice. Tiffany mengangguk. Ia siapkan adonan basah dalam wadah lain. Adonan itu akan diaduk dengan mixer besar yang ada di sudut ruangan. Telur, gula dan sedikit garam masuk ke dalamnya untuk dikocok hingga mengembang sempurna. "Menunggu itu, cobalah campurkan adonan kering dengan tangan. Lakukan hingga beberapa menit."
"Roti adalah jiwa. Pembuatnya harus memiliki kesabaran tingkat tinggi. Mencampur adonan bukan hanya seputar memasukan adonan basah ke dalam adonan kering. Biarkan mereka menyatu seperti jiwa dua orang yang jatuh cinta. Perlahan-lahan dengan irama yang sama," Madame Berenice masih memberikan instruksinya.
Adonan itu tak serta merta langsung masuk ke dalam oven. Setelah jadi, harus dibiarkan dalam wadah tertutup sampai mengembang. Lalu dibagi menjadi bulatan kecil dan disusun dalam rak di sebelah kiri untuk mendapat udara langsung. "Sehari?" tanya Tiffany kaget mendengar berapa lama roti itu akan beristirahat di sana.
"Kesabaran," nasehat Madame Berenice.
Jika saja ia tak mendapat panggilan. Fany akan menunggu adonannya berkembang perlahan. Sayangnya itu panggilan dari orang yang sangat ia nantikan, Jerry. "Madame, aku ke depan dulu," pamit Tiffany yang langsung berlari ke luar toko. Jerry sudah menunggu di sana, ia bersandar pada tiang lampu sambil memainkan lipatan kertas.
"Tiens, Jerry!" sapa Tiffany. Jerry melirik ke arah pintu lalu menghampiri gadis yang menyapanya. Pelan-pelan Tiffany menutup pintu kaca toko. "Kau mendapatkannya?" tanya Tiffany berharap sesuatu yang ia inginkan berhasil Jerry dapatkan.
Pria itu memberikannya kertas di tangan yang sedari tadi ia pegang. "Aku takut Daniel tahu, syukur dia dalam pengaruh obat tidur sehingga tidak sadar aku menuliskannya," jelas Jerry. Ia masih terlihat syok atas perbuatannya.
"Dia masih minum obat tidur?" Terlihat kerutan di jidat Tiffany. Jerry mengangguk dan itu membuat Tiffany semakin yakin dengan apa yang akan ia lakukan. Setelah itu Jerry pamit, meninggalkan Tiffany di sana dengan rencana gilanya sendiri.
Gadis itu membuka lipatan kertas di tangan. Dalam kertas itu tertulis alamat yang berada di Vienne. Helaan napas Tiffany terdengar bersahutan dengan suara desiran angin diakhir musim dingin. Sekitar lima jam menggunakan metro hingga ke sana. Fany kembali ke dalam toko, ia berpamitan pada Madame Berenice juga Laurace.
Hari ini, Fany libur. Meski akan mendapat dua kali lipat gaji, menurutnya kasus Daniel lebih penting. Pria itu semakin hari keadaan psikologisnya semakin parah. Jerry sering mengadu jika Daniel tidur sambil berjalan dan menyebut-nyebut nama Ema. Ia juga tak mau diajak berobat ke psikiater. Mungkin obatnya hanyalah Ema. Sehingga seminggu ini, ia meminta Jerry menemukan alamat wanita itu. Syukur, Tiffany pernah melihat Daniel sering mencatat alamat seseorang pada sebuah note kecil. Katanya biar lebih mudah dihafal, meski tahu di ponsel bisa melakukan hal yang sama kini.
Lonceng baru Notre-Dame de Paris sudah terdengar suaranya. Begitu nyaring membuat Sungai Seine dan burung-burung merpati di sana kembali berlagu. Berjalan kaki selama sepuluh menit, gadis yang mengenakan jaket merah dan menggendong tas hitam itu tiba di stasiun metro paling dekat dengan kampusnya. Hampir setahun tinggal di sini, akhirnya ia mulai tahu RER mana yang tepat untuk di pilih.
Saint-Michel Notre-Dame, stasiun metro yang dibuka sejak tahun 1979, kini sudah sangat modern dengan ruangannya yang bersih. Tahun 1995 stasiun ini pernah mengalami sebuah peristiwa memilukan. Delapan orang tewas dan delapan puluh orang lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan. Peristiwa yang menjadi sejarah pahit dan melukai kedamaian kota ini.
Tepat saat ia hendak meninjau tiket ke dalam mesin, seseorang bertubuh jauh lebih tinggi mendahuluinya. Ia seorang pria mengenakan jaket abu-abu dan kupluk di kepala. Dari tegap badannya saja, terlihat ia orang Eropa. Pria itu langsung meloncati mesin tiket dan berlari masuk ke dalam stasiun.
Tiffany bergidik ngeri. "Bagaimana bisa ia berani naik metro tanpa bayar?" tanyanya pada diri sendiri, lalu meninjau tiket dan menunggu pembatas terbuka. Ia mulai berjalan di lorong yang cukup luas. Kanan dan kirinya tembok putih dan lantai hitam yang mengkilat. Jalur RER B, sepi pagi itu. Hanya ada seorang wanita memakai kaos hitam berdiri di sisi rel tak jauh dari Tiffany. Pria yang mengenakan jaket tadi tak ada di sana dan itu membuatnya lega. Di seberang rel ada banyak banner iklan. Sementara di belakangnya ada jajaran kursi tunggu juga poster petunjuk jalur rel.
Tiffany lagi-lagi menatap lembaran kertas yang Jerry berikan. Ini alamat rumah Ema dan ia hendak ke sana. Tiffany harus bisa meyakinkan Ema agar memaafkan Daniel dan kembali bersama. Itu akan sulit, tapi keadaan Daniel kini akan mempermudahnya.
"Cukup aku saja dan Dylano yang berpisah selamanya. Aku harap Daniel dan Kak Ema bisa kembali lagi. Aku tak tega melihat seseorang mengalami hal yang sama denganku. Aku tahu kalian saling mencintai, seperti aku dan dia dulu," batin Tiffany.
Terdengar suara mesin kereta cepat dari kejauhan. Kendaraan panjang itu mulai berhenti dan membuka pintu otomatis di setiap gerbongnya. Warna putih dan garis biru tebal di bagian tengah menjadi ciri khas metro yang akan Tiffany naiki. Wajahnya tercermin pada badan Metro yang mengkilat terkena cahaya lampu putih stasiun. Tiffany memantapkan diri lalu melangkah masuk dan duduk di kursi panjang abu-abu kereta itu, kursi yang hanya bisa dinaiki oleh dua orang.
Tiffany mengambil sebuat gantungan kunci botol berisi daun maple kecil dan pasir putih dari dalam tas yang kini ia pangku. Gantungan kunci itu berasal dari Ottawa dan Dylano yang memberikannya sebagai hadiah ulang tahun hubungan mereka yang kedua. "Kamu tahu, aku sekarang belajar pergi jauh sendiri. Aku akan merubah hidup seseorang. Mungkin kau tak akan percaya, tapi aku melakukannya," ucapnya dengan suara pelan pada kekasih yang sudah hilang dalam hidupnya beberapa tahun ini.
❄️❄️❄️
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)
RomancePercuma aku mengejar matahari. Dia saja turut kemana aku pergi. Jika malam aku tidur, ia hilang. Begitulah Dylano. Tidak seperti kamu. Tidak jelas adanya kenapa. Perginya juga kenapa. 🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁 Daniel dan Tiffany ditinggal menika...