Berawal Dari Anjing

1.7K 593 87
                                    

"Fan, aku jemput, ya?" tawar Daniel yang merasa bersalah akibat kejadian hari itu. Tiffany mengiyakan ajakan Daniel. Ia pikir, Daniel memang harus diberi pelajaran agar sadar. Kesedihannya bukan alasan untuk menjadikan orang lain tumbal.

Pagi itu Tiffany bersiap dengan dressnya. Hari ini dia berencana bertemu dengan salah satu pemilik ruko yang akan menjual ruko di daerah Sukajadi. Daerah itu cukup pas untuk membuka toko roti baru. Masyarakatnya rata-rata didominasi kaum menengah ke atas. Selain itu dekat pula dengan mall terkenal di Bandung.

Rumah Tiffany pindah lagi. Sejak lahir tinggal di Cicadas hingga tahun 2007, keluarganya pindah dari rumah kontrakan itu ke Cicaheum. Tahun 2008, mereka pindah lagi ke kontrakan di Ujungberung. Kini Tiffany dan keluarga menetap di rumah yang mereka cicil daerah Supratman.

Hal yang Tiffany syukuri. Dengan begitu ia tak meninggalkan jejak dan membuatnya tak ditemukan teman satu SMAnya dulu. Buktinya, meski spanduk reuni SMA begitu gagah menempel di depan gerbang SMA Berbudi, ia tak mendapat undangan reuni.

"Mau ke mana, Teh?" tanya Bunda yang melihat Tiffany turun dari tangga menuju kamarnya.

"Mau beli ruko baru, Bun. Hari ini mau deal harga. 'Kan kemarin Tiffany sudah cair pinjaman dari banknya," jawab Fany. Bunda mengangguk meski ia agak khawatir dengan keberanian putrinya meminjam uang dari bank.

Penghasilan Tiffany juga tak main-main. Dari satu toko roti ia sudah mendapatkan keuntungan hingga dua puluh juta dalam sebulan meski baru satu tahun membuka toko. Rotinya juga selalu menjadi buruan konsumen. Itulah, kalau tak bisa jual dengan harga murah, jual dengan harga mahal. Harga membuat orang membeli demi harga diri dan eksis.

Ponsel gadis itu berbunyi. Ia pergi keluar. Matanya terbelalak saat membuka pintu dan melihat Daniel. "Ini maksudnya apa?" tanya Tiffany bingung.

Jemput pakai motor butut masih mending. Daniel menjemput naik sepeda. Sudah itu di depannya ada keranjang putih. "Kamu kalau jemput pakai beginian di Paris gak apa! Ini Bandung," protes Tiffany.

Daniel manyun. "Kamu itu mentang-mentang sudah kaya, sombong!" omelnya.

Meski wajah Tiffany sampai berubah merah dan melotot, ia tahu Daniel tak bisa disadarkan. "Pantas saja kamu ditinggal kawin. Kelakuannya kayak gini," umpat Tiffany.

Ia mengomel, meski tetap naik sepeda Daniel. "Lain kali aku harus pertimbangkan buat nyicil mobil sendiri. Daripada gini terus," keluhnya.

Berangkat sudah dua jomlo bahagia itu dengan sepeda. Meski Tiffany mengomel sepanjang jalan akibat roknya yang sering naik turun ditiup angin kendaraan yang lewat. "Sukajadi itu jauh, loh! Emang yakin sampai?"

Daniel mendengus. "Aku turun dari Taman Sari ke sini, loh! Jangan meremehkan kemampuanku. Ini otot laki-laki tulen."

"Laki-laki tulen ditinggal kawin nangis sampai bunuh diri. Pink sekali," ledek Tiffany yang masih belum puas mengatai Daniel akibat kejadian kemarin.

Tiba di persimpangan Dago dengan jalan Diponegoro, mereka mengalami insiden. Sepeda yang mereka naiki oleng akibat salah paham antara pemilik motor yang lewat di sisi kiri sepeda. Syukur saat jatuh tak ada kendaraan yang lewat.

"Duh, kamu ini!" protes Tiffany. Ia bangun sambil menepuk roknya yang kotor oleh debu jalanan. Padahal sudah dandan cantik dan pakai make up. Semua hancur gara-gara terjungkir di aspal jalan.

"Tif, darah!" tunjuk Daniel pada sikut Tiffany. Pria itu menutup mata, bukannya menolong.

"Daniel, ini gimana?" tanya Tiffany sambil merengek melihat darah yang tak seberapa banyak keluar dari sikutnya. Daniel malah memunggungi sambil menutup mata.

"Daniel!" panggil Tiffany. Kini pria itu berlari ke trotoar meninggalkan Tiffany dan sepedanya.

"Fan, aku gak kuat lihat darah. Mentalku lemah. Jangan lihatin lagi!" pinta Daniel.

Benar kesal Tiffany dibuatnya. Gadis itu melepas highheels lalu melempar Daniel dengan benda itu. "Sumpah ya, lain kali jangan jemput lagi!" omel Tiffany kesal.

Seorang polisi yang berjaga di pos dekat toko besar yang menjual barang eletronik menghampiri kedua orang itu. Ia membantu menepikan sepeda dan mengajak Tiffany ke pos untuk diobati. Sementara Daniel mengikuti dari belakang sambil bergidik ngeri.

"Lebih baik naik angkot saja, mbak," saran polisinya.

Daniel mengangguk-angguk. Ia berdiri di sisi pos agar tak melihat sikut Tiffany. "Saya juga inginnya begitu, Pak. Orang ini maksa jemput," keluh Tiffany.

"Naik sepeda tak seindah di film romansa," celetuk polisi lainnya sambil tertawa.

"Niat saya jemput pakai sepeda untuk olahraga, Pak. Mumpung hari Minggu dan masih pagi. Gak ada niatan romatis sama dia, bukan tipe saya," protes Daniel.

Kaki Tiffany sudah tak bisa ditahan lagi untuk tak menendang Daniel. "Lha, bukan pacarnya?" tanya polisi yang tengah mengobati Tiffany.

"Gak mungkin, Pak. Hancur masa depan saya kalau pacaran sama dia," ledek Tiffany sambil memperlihatkan tatapan jijik ke arah Daniel. Delikan matanya lebih tajam daripada ujung anak panah.

"Dia galak, Pak. Anjing tetangga saya saja, ada dia langsung ngumpet," ledek Daniel tak mau kalah.

Tiffany diam, mematung beberapa detik. Tangannya pelan-pelan mengambil tas di atas meja. Tak peduli dengan sikut yang berdarah juga dua polisi di pos. Hancur sudah Daniel hari itu ia pukuli. Bahkan polisi sendiri tak bisa berbuat apa-apa.

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang