jatuh cinta

1.8K 632 65
                                    

"Daniel, kamu tahu gak kenapa toko itu sepi?" tanya Tiffany saat mereka melihat salah satu toko tas tanpa pelanggan satu pun di dalamnya.

Akibat rasa penasaran, Tiffany masuk ke sana. Ia menemukan sebuah fakta, harga tasnya sangat mahal melebihi brand terkenal lainnya.

"Kenapa?" Daniel bertanya balik sambil mengatur kamera SLRnya.

"Karena tasnya mahal," jawab Tiffany sambil cekikikan.

Daniel bingung, kenapa juga gadis itu harus cekikikan. Harusnya ia merasa kasihan. "Kamu tahu gak kenapa sampai sekarang kamu jomlo?"

Kini, giliran Tiffany yang menggeleng. "Karena kamu jual mahal," Daniel menjawab sendiri pertanyaannya. Ia kira, Tiffany akan menebasnya dengan tas lagi. Ternyata salah, cekikikan Tiffany malah berubah menjadi tawa yang menggelegar.

Daniel tertegun. Wanita di depannya selalu memiliki cahaya sendiri saat tertawa. Tawa manis yang menguasai waktu hingga seakan membuat dunia Daniel berhenti berputar.

"Ini aku kasih kacang. Buka mulutnya," ucap Tiffany tiba-tiba. Daniel membuka mulutnya menurut permintaan Tiffany. "Pintar!" seru gadis itu sambil mengusap rambut Daniel sambil kembali tersenyum.

Awal musim dingin di New York, salju turun begitu tipis. Hanya rasanya begitu hangat karena Tiffany tersenyum hari ini. Ia tak takut lagi dengan miliknya yang hilang di kota ini. Tiffany hanya tahu satu hal.

"Daniel, makasih sudah buat aku kuat," ucapnya sambil menunduk dan
membenturkan ujung sepatu ke lantai.

Tak tahu keajaiban apa yang salju turunkan bagi Daniel malam itu. "Ikut aku!" ajak Daniel. Ia hentikan sebuah yellow cab kemudian mengajak Tiffany naik. Gadis itu bingung. Ia hanya bisa menurut. Dari jendela taksi, mata Tiffany bisa menangkap pemandangan Broadway malam itu. Cahayanya, gemerlap panggungnya, juga theaternya. Pohon-pohon berbaris di sisi jalan, menutup lampu dari pertokoan dan gedung klasik dengan tembok merah.

Keduanya tiba di depan gedung coklat muda dengan fasad yang menampilkan susunan bata yang besar. Jendelanya melengkung. Natal ini, mereka menempel ornamen dedaunan di rangka jendela dan pintu.

"Masuk!" ajak Daniel. Mereka melewati pintu putar dengan rangka coklat tua. Begitu klasik. Rangkanya mememiliki sisi atas mengerucut layaknya atap rumah. Di sisi atasnya lagi ada lengkungan kaca setengah lingkaran yang besar sepanjang rangka pintu dan dua jendela di sampingnya. Kemudian di bagian atas lagi ada sebuah tulisan besar "Bergdorf Goodman".

"Ini mall?" tanya Tiffany. Ia melihat etalase berisi pakaian hingga aksesoris dengan brand terkenal di pajang sepanjang rute pengunjung mall. Strategi yang bagus karena mata Tiffany langsung tertarik dengan beberapa tas juga topi.

"Kamu naik ke lantai atas. Ada restoran di sana. Tunggu di depan pintu, nanti aku datang," saran Daniel. Tiffany mengangguk. Ia berjalan mengikuti pelanggan lainnya untuk mencari eskalator sementara Daniel menghilang diantara pertokoan.

Bahkan eskalatornya sendiri terlihat mewah karena diapit oleh dinding berkaca. Tiba di lantai tujuh, sesuai petunjuk orang yang ia tanyain, Tiffany tiba di entarnce dengan foto-foto yang menempel di dinding putih. Seperti jalan masuk ke dalam sebuah rumah, hanya lorong kecil berlantai hitam.

Lumayan lama ia menunggu Daniel di sana. Pria itu tak lama terlihat berlari dari kejauhan. "Ayok makan," ajaknya sambil menuntun Tiffany ke sana. Syukur ada kursi kosong dan pas untuk dua orang.

Sajian teh sore sudah ditata di atas meja putih. Tiffany merasa layaknya ratu ketika duduk di kursi dengan sandaran berbentuk seperti telur berwarna biru muda.

"Aku mau donat boleh?" tanya Tiffany. Daniel mengangguk. Pria itu sudah berjanji akan mentraktir untuk afternoon tea ini.

Daniel mengangguk. Wajahnya tampak gugup. "Kamu kenapa?" tanya Tiffany ketika menyadari pria di depannya tak bersikap seperti biasa.

"Makan saja," timpal Daniel. Itu sama sekali tak menyurutkan rasa penasaran gadis itu. Ia simpan donat kembali di tempatnya.

"Aku gak mau makan sebelum kamu ngomong," tegas Tiffany.

Daniel menarik napas untuk mengumpulkan segenap keberanian. "Fan, kita berdua sudah sama-sama sendiri selama ini. Iya, aku sudah nyoba pacaran dengan banyak wanita. Mereka tak ada yang membuatku nyaman, tapi sama kamu lain, Fan. Kamu bisa bikin aku tertawa. Lebih dari itu, kalau kamu ada, aku gak mikir bunuh diri lagi," ucap Daniel.

Tiffany terkekeh. "Kalau kamu muji gini, aku suka takut. Pasti kamu abis buat salah," todong Tiffany.

Daniel memajukan tubuhnya. Ia meraih sesuatu yang sudah ia beli dan siapkan di saku mantel. "Iya aku buat salah lagi. Kali ini kesalahanku karena aku pikir aku mencintai kamu."

Satu ungkapan yang membuat Tiffany tertegun. "Aku tahu, aku tak bisa sesempurna Dylano. Aku juga tahu akan sulit menghapus bayangan ia dari kamu. Aku mau berusaha, Fan. Sama kamu hingga tua nanti. Aku gak akan nganter kamu ke meja akad, atau diantar kamu ke sana. Aku mau duduk sama kamu berdua di sana," pinta Daniel.

Gadis di depannya mematung, bingung. Selama ini baginya Daniel adalah sahabat. Orang yang membasuh luka dan membuatnya tertawa. Lebih dari itu, dia orang yang menyelamatkan nyawanya. "Bagaimana kalau aku gak bisa melupakan Dylano?" tanya Tiffany.

"Kita coba. Berdua. Mungkin dibalik pasangan sepatu kita yang hilang, kamu dan aku sebenarnya sepatu yang sepasang."

Daniel mengangkat sebuah kotak hitam ke atas meja. Ia buka kota kecil itu dan di dalamnya sebuah cincin bermahkotakan berlian. "Aku mau nikah sama kamu. Meski gak sekarang. Aku akan nunggu sampai kamu siap."

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang