Gadis itu berdiri di depan pohon damar. Ia pernah berpikir untuk bunuh diri beberapa tahun lalu. Kini? Ia tahu tujuan hidup bukan hanya sekedar cinta. Ada mimpi, ada keluarga juga makna kehidupan.
Ia berpegangan pada satu keyakinan. Berikan tiga kesempatan. Bila terus disia-siakan, maka semua benar berakhir. Kesempatan pertama, Daniel tidak membelikan ia sepatu yang cocok. Kesempatan kedua, Daniel memilih pergi dengan Ema dan mengingkari janji.
Apa alasannya? Seperti ini, "Aku tak menyalakan data selulernya. Maaf." Mudah baginya meminta maaf, mudah bagi Tiffany memaafkan. Namun, kebohongan akan menggoreskan luka dalam.
Kesempatan ketiga, Tiffany memberikannya hingga tujuh hari. Sering ia menelpon menanyakan keberadaan Daniel. Jawabannya ada di kantor, pekerjaan menumpuk, lembur.
Begitu Tiffany datang ke sana, Daniel tak ada di kantor. Ke mana? Satu atau dua hari, Tiffany tak tahu. Hari ketujuh, hari ini ... ia temukan kepastian. Daniel pergi dengan Ema. Ia mengantar wanita itu ke rumah keluarga Ema. Tahu dari mana? Sengaja Tiffany menunggu di depan apartemen saat jam pulang kantor Daniel. Benar pria itu datang ke apartemen, baru Tiffany mengikuti.
Ingin Tiffany bertanya. Kenapa harus kamu yang urus masalah Ema? Lebih parah, kenapa harus berbohong lagi? Tiffany sudah lelah. Ia tatap dedaunan damar di jalan itu yang sedang rimbun karena musim hujan.
Dari sini, ia melihat kotak sepatu di jok kedua mobilnya. Tiffany menarik napas panjang. Ia akan buat sebuah keputusan. Bayangan dirinya yang menangis di sana dan meminta untuk mati terlihat begitu jelas.
"Tiffany, kalau kamu hidup sendiri lagi, apa kamu akan baik-baik saja?"
Seketika semua perjuangannya kembali menjadi kenangan. Ia bertahan hidup, pergi ke negera orang sendiri, membangun bisnis sendiri. "Kamu bisa," tegas Tiffany.
Gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ia merasa lega Daniel mau bertemu dengannya hari ini. Seakan Allah memberi jalan atas keputusannya. Tak ada beban pikiran, hatinya begitu lapang.
Tiba di parkiran cafe yang berhadapan dengan Museum Asia Afrika, Tiffany menepikan mobilnya. Ia turun dan masuk ke dalam. Dari pintu masuk, ia sudah menemukan keberadaan Daniel. Pria itu selalu ada di sana.
Ada alasannya. Setiap Tiffany pulang sekolah di bangku SMA dulu, ia selalu melihat Daniel duduk di sana dengan Ema. Hanya karena takut mengganggu kemesraan mereka, Tiffany hanya melewati tanpa menyapa. Daniel mungkin berpikir Tiffany tidak akan tahu, tapi Fany tahu.
Tanpa memanggil Daniel, Tiffany langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan pria itu. Tadinya Daniel ingin menyapa calon istrinya, tapi mematung melihat Tiffany menyimpan kotak sepatu di atas meja.
"Kenapa?" tanya Daniel bingung.
"Sepatunya kebesaran," jawab Tiffany pendek.
"Mau aku tukar?"
Tiffany hanya menggeleng. "Tak perlu. Sepatu ini milik Ema. Sebaiknya dikembalikan padanya."
Kening Daniel mengerut. Kedua matanya ikut melebar. "Aku belikan ini untukmu. Untuk kamu pakai di hari pernikahan kita."
"Untukku, tapi ukuran sepatunya Ema?"
"Ya ampun, hanya karena itu apa perlu wajah kamu dingin seperti ini?"
Tiffany tak menjawab. "Aku tahu semuanya, Dan. Walau aku nggak pernah bilang. Aku tahu Ema suka kuaci, ia suka minum americano di kursi ini, suka kue balok, suka mengambil foto gedung-gedung. Aku suka nasi goreng, aku lebih memilih cireng dari pada kuaci, aku suka martabak, aku lebih suka foto pegunungan. Kamu nggak tahu, kan?"
Ucapan Tiffany seolah membungkam Daniel. Pria itu diam, ia biarkan Tiffany menyatakan maksudnya. "Aku nggak tahu kamu suka kari ayam, aku nggak tahu suka kopi pahit, aku nggak tahu kamu suka berlayar. Aku nggak tahu banyak hal tentang kamu, tapi Ema tahu."
"Kita bisa saling mengenal lagi setelah kita menikah."
Tiffany menggeleng. "Kita berdua tak akan pernah bisa saling mengenal. Tahu kenapa? Karena setiap kita bersama, kita hanya membayangkan orang lain, tapi aku bukan Ema."
"Lalu harus bagaimana? Aku juga mencoba, tapi kamu ...." Kalimat Daniel terpotong.
"Ema menikah karena dia diperkosa. Dia nggak pernah bilang karena takut kamu tersakiti," ungkap Tiffany.
Seketika Daniel tercengang. Ema tak pernah mengatakan itu. Jantungnya terasa berdebar semakin lambat. "Lalu apa? Itu masa lalu. Itu sudah terjadi dan sekarang, aku punya kamu."
"Dia bukan masa lalu. Dia tak ada pun, kamu tetap merindukannya. Aku tahu kamu pergi dengan Ema beberapa hari ini. Waktu kamu bilang lupa acara fitting baju pengantin kita, aku tahu kamu dengan dia."
Serbet di atas meja diremas kuat oleh Daniel. Ia menutup mata kemudian membuka kembali dan berharap semua berubah. Tidak, Tiffany tetap kaku.
"Aku melepaskanmu, Dan. Pergi dengan dia. Jangan bohongi perasaan kamu. Aku baik-baik saja. Aku nggak akan bunuh diri. Kamu yang ajari aku untuk kuat. Terima kasih, dengan itu aku juga kuat melepasmu," tegas Tiffany.
Gadis itu melepaskan cincin pertunangannya. Ia simpan di atas kotak sepatu. Tiffany tak menangis. Ia berdiri dan berjalan dengan tegar meninggalkan cafe. Ia tak akan duduk di trotoar, tak akan menangis di sana menunggu hujan turun juga tak akan menghampiri kendaraan yang mengebut.
Sedang Daniel masih di sana. Air matanya menetes meski langsung ia usap. Daniel mengambil ponsel. Ia buka pesan Tiffany hari itu, hari di mana mereka harusnya mencoba baju pernikahan.
📨 : Dylan, Aku tunggu kamu di butik. Katanya mau fitting baju hari ini.
Senyum miris Daniel melengkung. "Kamu benar. Aku juga akan melepaskanmu. Jangan bohongi diri kamu sendiri. Kembali dengannya. Aku akan baik-baik saja."
🍂🍂🍂🍂
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)
RomancePercuma aku mengejar matahari. Dia saja turut kemana aku pergi. Jika malam aku tidur, ia hilang. Begitulah Dylano. Tidak seperti kamu. Tidak jelas adanya kenapa. Perginya juga kenapa. 🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁 Daniel dan Tiffany ditinggal menika...