Tujuan Hidup

2.1K 623 52
                                    

"Kamu tadi malam mikirin aku?" tanya Dylano. Keduanya duduk di atas bangku. Pohon beringin menjadi payung dari teriknya matahari pukul dua belas siang.

Matanya yang sendu menatap wajah Tiffany yang lucu. Rindu semalam tak bertemu menyatu dalam titik di mana mereka bertemu. Istirahat siang ini jadi waktu ketika berdua hari tak lagi semu.

"Kata siapa?" Fany mengelak. Matanya terbuka lebar, tegas seakan memberi kesan jika apa yang dikatakan Dylano sama sekali tak benar.

Berseragam putih dan abu-abu, kedua makhluk itu menikmati suhu yang sedang sejuk. Dua puluh derajat celcius di awal musim penghujan, Kota Bandung terasa nyaman meski hari ini tak ada awan menutupi raja langit.

Dalam cekungan daratan yang dulu adalah danau raksasa, kedua bocah berusia tujuh belas tahun itu mengukir sejarah cinta. "Sampai manggil namaku, kan?" tebak Dylano lagi. Wajahnya semakin mendekat beberapa senti hingga korban dari tegurannya merona di bagian pipi.

Wangi parfum Bvlg*ri tercium begitu segar dari tubuh Dylano. Wanginya mengalahkan colonge drugstore yang biasa Tiffany kenakan.

"Gak lah!" kilah Tiffany tak mau kalah. Semakin Dylano menggeser dan mendekatkan posisinya, ia semakin tegang. Katup jantung Tiffany semakin cepat menutup dan membuka akibat pompaan darahnya yang menggila. "Iya," celetuknya kemudian menutup mulut akibat malu keceplosan.

Dylano menjauhkan wajah. Ia terkekeh sambil meluruskan kedua kaki. "Pantas saat tidur aku terus terbangun. Ada yang rindu." Jari telunjuknya ia tekan di pipi Tiffany.

Daun beringin berjatuhan tertiup angin. Sudah tubuh daun-daun baru untuk mengantisipasi musim hujan. Tanaman pun tahu bagaimana cara ia bisa meraih cahaya mentari sebanyak-banyaknya ketika langit tertutupi awan hujan.

Rok rempel Tiffany yang panjangnya di bawah lutut bergerak-gerak bagian sisinya oleh angin yang lewat. Ia mengaitkan anak rambut di belakang telinga. Dari kejauhan terdengar suara siswa-siswa tengah senang bermain bola. Hanya kedua pasangan ini yang menyepi di sana.

"Apa hubungannya?" Masih bingung Tiffany dari mana Dylano tahu ia menyebut nama pria itu semalaman akibat tak tahan ingin lekas bertemu di sekolah esok hari.

"Nenekku bilang, kalau kita rindu dan memanggil nama orang itu sampai sepuluh kali, ia akan merasakan dan mengingat kita," jawabnya.

Wajah Dylano begitu damai menatap rimbunnya daun-daun di atas kepala sambil mendongak. Rahangnya begitu tegas dengan alis coklat kehitaman yang tak terlalu tebal. Mata belo Dylano menutup. Begitu dalam Tiffany menatap wajah itu hingga terbayang dan membekas.

"Dylan!" panggil Tiffany. Ia membuka mata dan terperanjat. Posisinya yang tengah terbaring kini terduduk di atas tempat tidur. Keringat bercucuran hingga membasahi kaos merah mudanya.

Mata Tiffany melirik ke samping. Ada Laurace di sana masih tertidur. Fany menarik napas panjang. Jantungnya berdebar. Kini matanya berpindah pada jendela persegi panjang putih di mana ia bisa melihat bulan sabit dari kejauhan. Ternyata ia memimpikan Dylano lagi.

"Apa kamu manggil aku?" batinnya. Ia menepuk dada dan terasa nyeri di sana.

🍁🍁🍁

Mimpi semalam terbawa buruk hingga hari esok. Bukan mimpi, Tiffany hanya mengulang memori yang pernah ia lalui dengan Dylano. Siangnya menjadi menjadi semu sampai tanpa sadar menguleni roti terlalu lama.

"Tiffany?" panggil Madame Berenice lalu menepuk lengan gadis itu. Tiffany terperanjat, hampir copot jantungnya akibat terbangun dari lamunan.

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang