Lamaran

2.1K 631 94
                                    

"Sayang, kamu mau ini gak?" tawar si pria pada wanita di depannya. Salah satu tangan mereka masih saling berpegangan sementara satunya lagi saling menyuapi..

"Mau, sayang," timpal si wanita.

Tatapan Daniel masih tajam melihat kedua manusia itu. Begitu juga dengan Tiffany. "Sayang," panggil Daniel tiba-tiba. Fany melirik arahnya. Daniel bergidik. "Gak jadi."

Mereka masih saja seperti dulu. Dua tahun menjalin asmara, tak pernah ada yang berubah. Jika makan, mereka akan fokus pada makanan. Satu hal yang berubah, setidaknya Daniel dan Tiffany bisa memanggil dengan kata sayang.

"Lain kali kita cari restoran lain. Lihat begituan malas juga," keluh Daniel.

Tiffany mengerti apa yang pacarnya maksud. "Mereka kayak sengaja ingin nunjukin kalau hubungan mereka lebih romantis dari kita berdua."

"Nah, itu yang aku maksud. Berlebihan banget mereka itu."

Mobil Daniel merapat di depan teras rumah Tiffany. Begitu turun, ia fokus pada mobil yang parkir di sampingnya. "Perasaan kenal," ucap Daniel bingung.

"Mau masuk gak?" tanya Tiffany tak sabaran. Daniel mengangguk. Setidaknya dia harus mengantarkan Tiffany sampai pada kedua orang tuanya. Apalagi ini sudah pukul delapan malam.

"Assalamu'alaikum," salam Tiffany sambil membuka pintu rumah. Ia tertegun melihat ke ruang tamu yang hanya disekat lemari kaca tempat menyimpan pernik pecah belah.

Daniel ikut masuk. Ia bingung melihat Tiffany diam di dekat pintu. Begitu melirik ke arah mata Tiffany melihat, Daniel kaget. "Lho, itukan mamah sama papahku," ungkap Daniel.

Tiffany menatap kekasihnya. "Ngapain mereka ke sini, sih?" tanya gadis itu curiga. Tak mau penasaran lama, keduanya masuk ke ruang tamu. Mereka disambut dengan senyuman hangat.

"Syukur sudah pulang. Kebetulan mau ditanya banyak hal ini," ungkap Ayah Tiffany. Lirikan mata Fany tertuju pada ayahnya.

"Kami ke sini ingin mendapat kejelasan hubungan kalian berdua. Kamu sering main ke rumah, kan. Oom dan Tante jujur, suka sekali dengan sikap kamu. Maka dari itu, Oom ingin mengenal orang tuamu," jelas papah Daniel.

Tiffany mengangguk. Mendadak ia merasa malu dan juga khawatir. "Kalian sudah cukup umur. Daniel sudah ada pekerjaan tetap. Kenapa tidak langsung menikah saja?" saran papah Daniel.

"Nah, iya. Kalian pacaran sudah lama dan adem ayem, kan. Sudah waktunya berpikir serius," ayah Tiffany ikut berkomentar.

Daniel menatap Tiffany. "Daniel juga sudah lama memikirkan ini. Hanya karena pekerjaan masih belum sempat. Kebetulan papah dan mamah bilang begini, Daniel gak keberatan. Lagi pula, kami memang merasa cocok," jawab Daniel dengan yakin.

"Tiffany bagaimana?" tanya mamah Daniel ingin tahu bagaimana perasaan pacar anaknya itu.

Meski wajahnya memerah, Tiffany mengangguk. "Fany juga mau, kok."

Kedua keluarga itu bersyukur dengan keputusan kedua anaknya. Meski terkesan dadakan, malam itu obrolan mereka sangat padat.

"Kalau memang gak bisa mendapat tanggal di waktu dekat, ikat saja dulu dengan pertunangan," saran papah Daniel.

"Iya, maaf sekali ini, Pak. Habis saya juga gak enak sama kakak sendiri. Anaknya mau nikah enam bulan lagi. Gak mungkin kalau Tiffany main melompati."

"Kalau hanya tunangan 'kan masih wajar. Biar mereka ada tanggung jawab masing-masing dengan hubungan ini. Kami juga harus nabung dulu. Namanya anak laki-laki satu-satunya, ingin hajatan kalau bisa lebih mewah dari kakaknya yang perempuan."

"Baiknya saja gimana ... Daniel ikut," pria itu terlibat dengan obrolan. Sementara itu, Tiffany mengobrol dengan ibu Daniel.

"Anak kami itu putra bungsu. Kalau manja maklum. Hanya diingatkan saja sesekali. Dia nurut, kok," nasehat calon ibu mertua.

"Iya, Tante. Aku lumayan lama kenal dengan Daniel, dari S1. Mungkin sudah hampir setengahnya yang tante tahu."

"Iya, kok. Tante percaya. Dia itu sering cerita tentang kamu pada kami berdua." Mamah Daniel berpaling pada Bunda Tiffany. "Bu, putrimu ini benar-benar menantu idaman sekali. Sudah sopan, pintar masak, baik hati juga. Saya gak sabar jadiin menantu di rumah."

"Iya, mudah-mudahan diberi kelancaran sampai hari pernikahan," doa Bunda.

Pukul sepuluh malam, orang tua Daniel baru meninggalkan rumah. Pernikahan Tiffany dan Daniel akan berlangsung delapan bulan lagi. Waktu yang akan terasa lama untuk dijalani dengan menghitung kalender.

Malam itu setelah mandi dan memakai piyama, Fany mendapat pesan dari Daniel. Lekas ia baca isi chatnya.

Besok aku pergi ke Dubai. Ada urusan Dinas. Kamu baik-baik di Bandung. Ingat, kita pulang langsung tunangan. Aku cari uang dulu buat modal.

-Calon imammu-

Tiffany terkekeh. Ia mengambil dan memeluk bantal dengan erat. Ada-ada saja kelakuan calon suaminya itu.

Cari uang yang rajin. Kita gak tahu nanti nikah dapat amplop berapa. Jangan sampai habis nikah kamu manyun karena gak balik modal.

-Calon istri cerewetmu-

Tak butuh waktu lama, ia melihat status mengetik dari status WA Daniel. Ia pasti sedang memikirkan cara membalas pesan Tiffany.

Aku tak mau cintaku padamu berat diamplop. Meski harga tenda makin mahal, itu tak menggugurkan niatku halalin kamu.

-Dari mantan sahabat yang akan naik pangkat jadi suamimu-

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang